Rabu, 09 September 2009

PENYAIR DAN LEMBAH ITU...

Pasangan yang sedang berasyik masyuk itu sejak awal menyita hampir perhatian
semua penumpang. Mengelilingi selat Bosphorus yang membelas sayap Asia dan
Eropa, Kota Instambul menjelang senja, memang sebuah sensasi romansa. Mereka
terus berpelukan, Dan berciuman. Yang ada hanya kata indah. Senyum. Dan ribuan kebahagiaan. Dunia jadi milik mereka berdua. Dan semua penumpang, termasuk
rombongan adalah penonton setia yang semakin medorong ekshibisi mereka. Ibarat
cawan-cawan anggur yang terus memabukkan orang-orang kasmaran.
Tapi kami semua tiba-tiba tersentak. Begitu wisata bahari sore itu selesai, pasangan itu
turun dari boat sambil bertengkar hebat. Tidak ada yang mengerti di antara kami: apa
asal usul kemesraannya, atau apa pula sebab musabab pertengkarannya.
Tapi yang ada hanya sebuah kaedah sederhana yang bisa disimpulkan : Tidak semua
kata cinta lahir dari cinta, sebab tidak semua yang terkata selalu datang dari jiwa.
Boleh jadi itu sekadar lintasan pikiran yang tak berakar dalam hati. Atau respon sesaat
terhadap suasana yang mengharu biru. Kata yang tak berakar di hati selalu
mengandung virus: berlebihan, basa-basi, tidak realistis, tidak punya daya gugah, atau
punya daya gugah tapi mengandung kebohongan.
Ini dia penyakit penyair yang disebut Qur’an; ”Dan para penyair itu, diikuti orang-orang
pendusta. Tidaklah kamu melihat bagaimana mereka mengembara tanpa arah di setiap
lembah. Dan bahwa mereka mengatakan apa yang tidak mereka kerjakan.” (QS. Al
Syu’ara : 224-226)
Yahimun : mengembara tanpa arah. Itu ungkapan ajaib dan sangat akurat. Lalu
diperkuat dengan pernyataan bahwa mereka mengatakan apa yang tidak mereka
lakukan. Itu membuatnya lebih dalam lagi. Karena akhirnya, ini adalah cerita tentang
watak yang terbelah, antara kata dan laku, tentang kata tanpa makna dan arah, tentang
kata yang hanya sekadar kata.
Penyair dan lembah itu, metafora tentang ketidakjujuran, tentang jiwa yang sakit,
tentang karakter yang lemah. Cinta memang harus berkembang jadi kata. Sebab itu
membuatnya nyata. Dan meyakinkan. Tapi kata itu harus benar-benar merupakan
anak-anak manis yang lahir dari rahim cinta. Hanya itu yang membuatnya kuat dan
berkarakter. Hanya itu yang membuat kata menyatu dengan laku. Serta bebas dari
keterbelahan jiwa. Jika tidak cinta akan terkena virus yang menimpa para penyair.
Seringkali kata-katanya terlalu sederhana. Tapi kadar jiwa dan makna yang
dikandungnya mungkin lebih dahsyat dari puisi-puisi yang pernah memenangkan nobel.
Seperti ketika Rasulullah SAW menyanjung khatidjah : ”Adakah perempuan yang bisa
menggantikan Khadijah?” Ketika akhirnya rasa penasaran mendorong Aisyah
menanyakan itu, Rasulullah menjawab : ”Dia beriman ketika semua orang kafir, dia
mengorbankan harta ketika semua orang menahannya, ia memberiku anak-anak.” Pengakuan jujur yang abadi. Cinta yang terkembang jadi kata tapi tak sempat
disampaikan kepada sang kekasih. Sederhana. Apa adanya. Tapi dalam. Karena
memang lahir dari rahim cinta sejati.

PRODUKTIVITAS KOLEKTIF

Enteng benar Ummu Salamah menjawab pertanyaan Anas bin Malik. Khadam
Rasulullah SAW ini diam-diam mengamati sebuah kebiasaan Sang Rasul yang rada
berbeda ketika beliau menemui Ummu Salamah dan ketika beliau menemui Aisyah.
Rasulullah SAW selalu secara langsung dan refleks mencium Aisyah setiap kali
menemuinya, termasuk di bulan Ramadhan. Tapi tidak begitu kebiasaan beliau saat
bertemu Ummu Salamah. Nah, kebiasaan itulah yang ditanyakan Anas bin Malik kepada
Ummu Salamah, yang kemudian dijawab begini: ”Rasulullah SAW tidak dapat menahan
diri ketika melihat Aisyah.”
Jawabannya Cuma begitu. Penjelasannya sesederhana itu. Datar. Yah, datar saja.
Seperti hendak menyatakan sebuah fakta tanpa pretensi. Sebuah fakta yang diterima
sebagai suatu kewajaran tanpa syarat. Tanpa penjelasan.
Sudah begitu keadaannya, kenapa tidak? Atau apa yang salah dengan fakta itu?
Apa yang harus dicomplain dari kebiasaan itu?
Itu sama sekali tidak berhubungan dengan harga diri yang harus membuat ia marah.
Atau menjadi keberatan yang melahirkan cemburu. Mati rasakah ia? Hah?? Tapi siapa
berani bilang begitu?
Terlalu banyak masalah kecil yang menyedot energi kita. Termasuk banyak
pertengkaran dalam keluarga. Sebab kita tidak punya agenda-agenda besar dalam
hidup. Atau punya tapi fokus kita tidak ke situ. Jadi kaidahnya sederhana: kalau energi
kita tidak digunakan untuk kerja-kerja besar, maka perhatian kita segera tercurah
kepada masalah-masalah kecil.
Karena mereka punya agenda besar dalam hidup, maka mereka tidak membiarkan
energi mereka terkuras oleh pertengkaran-pertengkaran kecil, kecuali untuk semacam
”pelepasan emosi” yang wajar dan berguna untuk kesehatan mental.
Kehidupan mereka berpusat pada penuntasan misi kenabian di mana mereka menjadi
bagian dari tim kehidupan Sang Nabi. Jadi masalah kecil begini lewat begitu saja. Tanpa
punya bekas yang mengganggu mereka. Fokus mereka pada misi besar itu telah
memberi mereka toleransi yang teramat luas untuk membiarkan masalah-masalah kecil
berlalu dengan santai.
Fokus pada misi besar itu dimungkinkan oleh karena sejak awal akad kebersamaan
mereka adalah janji amal. Sebuah komitmen kerja. Bukan sebuah romansa kosong dan
rapuh. Mereka selalu mengukur keberhasilan mereka pada kinerja dan pertumbuhan
kolektif mereka yang berkesinambungan sebagai sebuah tim.
Persoalan-persoalan mereka tidak terletak di dalam, tapi di luar. Mereka bergerak
bersama dari dalam ke luar. Seperti sebuah sungai yang mengalir menuju muara besar:
masyarakat. Mereka adalah sekumpulan riak yang menyatu membentuk gelombang,
lalu misi kenabian datang bagai angin yang meniup gelombang itu: maka jadilah mereka
badai kebajikan dalam sejarah kemanusiaan.
Cinta memenuhi rongga dada mereka.
Dan semua kesederhanaan, bahkan kadang kepapaan, dalam hidup mereka tidak
pernah sanggup mengganggu laju aliran sungai mereka menuju muara masyarakat.
Mereka bergerak. Terus bergerak. Dan terus bergerak.
Dan romansa cinta mereka tumbuh kembang di sepanjang jalan perjuangan itu.

BEBAN AMANAH DAN KESIAPAN AKTIVIS ISLAM



Bismillaahirrohmaanirrohiim, kita patut bergembira bahwa dari ke hari jumlah aktivis-
aktivis Islam saat ini terus bertambah dan itu berarti bahwa distribusi beban dakwah
perlahan-lahan mulai semakin merata. Walaupun begitu, memang masih ditemukan di
sana-sini adanya pemusatan beban karena jumlah beban dengan pemikulnya belum
terlalu seimbang.
Oleh karena itu para aktivis muslim sampai saat ini memang masih memikul beban yang
sangat berat dan juga sangat banyak. Dan itu kadang-kadang melampaui jumlah waktu
yang mereka miliki. Dari situ kemudian muncul berbagai persoalan, di antaranya adalah
soal rasio produktivitas kita dalam bekerja, kemudian masalah efisiensi waktu, tetapi dua
hal ini –rasio produktivitas dan efisiensi waktu- sama-sama terkait dengan kompetensi
individu masing-masing aktivis.
Kalau kita mengatakan rasio produktivitas, yang saya maksud adalah semestinya
seorang aktivis Islam itu rasio produktivitasnya sebagai berikut, yaitu satu unit waktu
sama dengan satu unit amal.
Sekarang, karena jumlah pekerjaan lebih banyak dari waktu yang kita miliki, maka kita
harus memilih bahwa satu unit waktu sama dengan satu unit amal terbaik. Jadi kita
selalu berorientasi kepada afdhalul amal, itulah kaidah yang menggabungkan antara
rasio produktivitas yang tinggi
dengan tingkat efisiensi.
Artinya efisiensi itu adalah fi’li amal pada setiap satu unit waktu. Tapi sekali lagi, itu
kembali kepada kompetensi individu masing-masing. Dan jika bicara tentang
kompetensi individu yang kita maksud adalah apakah individu itu atau aktivis muslim itu sudah merencanakan pengembangan dirinya yang maksimum. Sehingga bakat-bakat
yang terpendam dalam dirinya, semuanya terpakai untuk dakwah. Sebab penelitian
terhadap orang-orang besar yang pernah dilakukan di Amerika –seperti yang dikutip
oleh Syaikh Muhammad Al Ghazali- mengatakan bahwa ternyata orang-orang besar
yang pernah ada dalam sejarah hanya menggunakan 5-10 persen dalam total
potensinya.
Untuk mencapai hal di atas, kita harus selalu berorientasi kepada penyatuan-penyatuan,
pemaduan-pemaduan, pengharmonisan-pengharmonisan, dan mencoba meninggalkan
kecenderungan pemisahan-pemisahan atau dikotomi, karena semua itu adalah
kebajikan. Contoh: menuntut ilmu di kampus itu adalah kebaikan, berdakwah adalah
juga kebaikan. Kita membutuhkan kedua-duanya sekaligus. Kita perlu ilmu supaya kita
berdakwah dengan cara yang benar, dan kita harus berdakwah agar ilmu kita
bermanfaat. Jadi, tidak ada alasan untuk memisah-misahkannya.
Persoalannya adalah persoalan manajemen, bagaimana mengelola waktu yang tersedia
untuk mendapatkan hasil yang terbaik dari semua amal yang ada. Itu saja masalahnya!

BELAJAR BERSATU



Ketika kekalahan, tragedi, kelaparan, dan pembantaian mendera jasad Islam kita, kita
selalu saja menyoal dua hal: konspirasi Barat dan lemahnya persatuan umat Islam.
Tangan-tangan syetan Yahudi seakan merambah di balik setiap musibah yang menimpa
kita. Dan kita selalu tak sanggup membendung itu, karena persatuan kita lemah.
Mari kita menyoal persatuan, sejenak, dari sisi lain. Ada banyak faktor yang dapat
mempersatukan kita: aqidah, sejarah dan bahasa. Tapi semua faktor tadi tidak berfungsi
efektif menyatukan kita. Sementara itu, ada banyak faktor yang sering mengoyak
persatuan kita. Misalnya, kebodohan, ashabiyah, ambisi, dan konspirasi dari pihak luar.
Mungkin itu yang sering kita dengar setiap kali menyorot masalah persatuan. Tapi di sisi
lain yang sebenarnya mungkin teramat remeh, ingin ditampilkan di sini.
Persatuan ternyata merupakan refleksi dari ’suasana jiwa’. Ia bukan sekedar konsensus
bersama. Ia, sekali lagi, adalah refleksi dari ’suasana jiwa’. Persatuan hanya bisa
tercipta di tengah suasana jiwa tertentu dan tak akan terwujud dalam suasana jiwa yang
lain. Suasana jiwa yang memungkinkan terciptanya persatuan, harus ada pada skala
individu dan jamaah.
Tingkatan ukhuwwah (maratibul ukhuwwah) yang disebut Rasulullah SAW, mulai dari
salamatush shadr hingga itsar, semuanya mengacu pada suasana jiwa. Jiwa yang dapat
bersatu adalah jiwa yang memiliki watak ’permadani’. Ia dapat diduduki oleh yang kecil
dan yang besar, alim dan awam, remaja atau dewasa. Ia adalah jiwa yang besar, yang
dapat ’merangkul’ dan ’menerima’ semua jenis watak manusia. Ia adalah jiwa yang
digejolaki oleh keinginan kuat untuk memberi, memperhatikan, merawat,
mengembangkan, membahagiakan, dan mencintai.
Jiwa seperti itu sepenuhnya terbebas dari mimpi buruk ’kemahahebatan’,
’kamahatahuan’, ’keserbabisaan’. Ia juga terbebas dari ketidakmampuan untuk
menghargai, menilai, dan mengetahui segi-segi positif dari karya dan kepribadian orang
lain.
Jiwa seperti itu sepenuhnya merdeka dari ’narsisme’ individu atau kelompok.
Maksudnya bahwa ia tidak mengukur kebaikan orang lain dari kadar manfaat yang ia
peroleh dari orang itu. Tapi ia lebih melihat manfaat apa yang dapat ia berikan kepada
orang tersebut. Ia juga tidak mengukur kebenaran atau keberhasilan seseorang atau
kelompok berdasarkan apa yang ia ’inginkan’ dari orang atau kelompok tersebut.
Salah satu kehebatan tarbiyah Rasulullah SAW, bahwa beliau berhasil melahirkan dan
mengumpulkan manusia-manusia ’besar’ tanpa satupun di antara mereka yang merasa ’terkalahkan’ oleh yang lain. Setiap mereka tidak berpikir bagaimana menjadi ’lebih
besar’ dari yang lain, lebih dari mereka berpikir bagaimana mengoptimalisasikan seluruh
potensi yang ada pada dirinya dan mengadopsi sebanyak mungkin ’keistimewaan’ yang
ada pada diri orang lain.
Umar bin Khattab, mungkin merupakan contoh dari sahabat Rasulullah SAW yang dapat
memadukan hampir semua prestasi puncak dalam bidang ruhiyah, jihad, qiyadah,
akhlak, dan lainnya. Tapi semua kehebatan itu sama sekali tidak ’menghalangi’ beliau
untuk berambisi menjadi ’sehelai rambut dalam dada Abu Bakar’. Sebuah wujud
keterlepasan penuh dari mimpi buruk ’kemahahebatan’.

LELAKI AKHIRAT

Kalau butir-butir kurma ini harus kutelan semua baru maju berperang… oh betapa
jauh sungguh jarak antara aku dengan surga.”

Itulah ungkapan seorang sahabat ketika mendengar Rasulullah saw. bersabda
menjelang berkecamuknya perang Badar: ” Majulah kalian semua menuju surga yang
luasnya seluas langit dan bumi.”
Kecermelangan sahabat-sahabat Rasulullah saw, serta semua manusia Muslim agung
yang pernah memenuhi lembaran sejarah kejayaan umat ini, sesungguhnya difaktori
salah satunya oleh “hadirnya” akhirat dan semua makna yang terkait dengan kata ini
dalam benak mereka setiap saat.
Lukisan kenikmatan surga meringankan semua beban kehidupan duniawi dalam diri
mereka. Lukisan kenikmatan surga meringankan langkah kaki mereka menyusuri napak
tilas perjuangan yang penuh onak dan duri. Tak ada duri yang sanggup menghentikan
langkah mereka. Sebab duri itu justru memberinya kenikmatan jiwa saat jiwa duniawinya sedang bermandikan sungai surga. Lukisan kenikmatan surga melahirkan semua
kehendak dan kekuatan yang terpendam dalam dasar kepribadiannya. Tak ada
kehendak akan kebaikan yang tak menjelma jadi realita. Tak ada tenaga raga yang
tersisa dalam dirinya, semua larut dalam arus karya dan amal.
Lukisan kedahsyatan neraka memburamkan semua keindahan syahwati dalam
pandangan hatinya. Lukisan kedahsyatan neraka mematikan semua kecenderungan
pada kejahatan. Sebab kejahatan itu sendiri telah berubah menjadi neraka dalam
jiwanya, saat sebelah kakinya telah terjerembab ke dalam neraka dengan satu
kejahatan, dan kaki yang satu akan menyusul dengan kejahatan kedua. Lukisan
kedahsyatan neraka menghilangkan semua rasa kehilangan, kepahitan dan penyesalan
dalam dirinya saat ia mencampakkan kenikmatan syahwati.
Lukisan surga dan neraka memberi mereka kesadaran yang teramat dalam akan waktu.
Makna kehidupan menjadi begitu sakral, suci, dan agung ketika ia diletakkan dalam
bingkai kesadaran akan keabadian. Kaki mereka menapak di bumi, tapi jiwa mereka
mengembara di langit keabadian. Dari telaga keimanan ini mereka meneguk semua
kekuatan jiwa untuk dapat mengalahkan hari-hari. Seperti apakah kenikmatan yang bisa
diberikan syahwat duniawi kepadamu, jika engkau letakkan dalam neraka jiwamu.
Sepeti apa pulakah kepahitan yang dapat diberikan penderitaan duniawi kepadamu, jika
ia engkau simpan dalam surga jiwamu.
Lukisan surga dan neraka yang memenuhi lembaran surat-surat Makkiyah, terkadang
dipapatkan Allah swt. dengan gaya ilmiah yang begitu logis. Sama seperti ia terkadang
melukiskannya dengan gaya deskripsi, begitu sastrawi dan menyeni, seindah-indahnya
atau semengeri-ngerikannya. Lukisan pertama menyentuh instrumen akal dan
melahirkan ‘ al-yaqin ‘ akan kebenaran hari kebangkitan (akhirat). Lukisan kedua
menyentuh hati dan selanjutnya diharapkan melahirkan ‘ khaufan wa thama’an ‘.
Begitulah al-iman bil yaumil akhir itu menjadi telaga tempat kita meneguk semua
kekuatan jiwa untuk berkarya. Begitulah al-iman bil-yaumil akhir itu menjadi mesin yang
setiap saat ‘ memproduksi ‘ watak-watak baru yang positif dan islami dalam struktur
kepribadian kita.
Untuk ‘ memfungsikan ‘ keimanan ini seperti ini, kita harus ‘ menghadirkan ‘ maknanya
setiap saat dalam benak dan hati kita. Sebab “… dari makna-makna kubur inilah akan
lahir akal yang kuat dan tegar bagi sang kehendak “, kata Musthafa Shidiq Ar-Rafi’i.

Senin, 03 Agustus 2009

KRISIS UMAT DAN CELAH PEMBEBASAN

Apakah yang dilakukan sebuah ummat, ketika krisis menjadi hantu besar yang
melingkupi semua sisi kebaikannya? Apakah yang mungkin dilakukan sebuah ummat,
ketika sejarah menjadi begitu pelit untuk membuka pintu-pintu rumahnya, bagi umat itu
untuk berteduh dari keterhimpitan yang menyengat tubuhnya? Apakah yang mungkin
dilakukan sebuah ummat, ketika semua umat memusuhinya, dan apa yang ada hanya
dirinya, sementara realitas dirinya sendiri justru menjadi anak panah di busur
musuhnya?
Pertanyaan seperti ini seringkali hinggap dalam benak kita, para du’at dan
Mushlihin. Dalam keadaan tanpa jawaban, sering pula kita kehilangan kesesimbangan jiwa, sesuatu yang kemudian menimbulkan rasa tidak berdaya (al’-ajz) dan merasa
seakan realita dan tantangan lebih besar dari kapasitas internal kita menjawabnya,
apalagi menyelesaikannya. Yang lebih parah lagi, rasa tidak berdaya itu kadang sampai
begitu kuat, sehingga tanpa sadar kita bersikap negatif terhadap problema yang
melingkupi kita, untuk kemudian mencoba melakukan langkah ‘pengunduran diri’ dari
gelanggang kehidupan sosial (al-insihab al-ijtima’i). Terkadang pengunduran diri ini
disertai sejumlah pembenaran rasional, setelah rasa tidak berdaya itu mendorong kita
mempertanyakan beberapa aksioma ideologi dan prinsip perjuangan, yang mungkin
dianggap terlalu ideal dan tidak mungkin dipertemukan dengan realita? Beginilah
misalnya, kekalahan-kekalahan politik mendorong Nurcholish untuk menelorkan ide
‘Islam Yes, Partai Islam No’ pada tahun 1970-an.
Sesungguhnya itu tidak perlu terjadi, kalau saja kita mau merenungi kembali,
bagaimana Allah SWT dalam Al Qur’an telah membuka begitu banyak celah
pembebasan yang dibuka Allah SWT kepada kita, saat semua jalan masuk ke rumah
sejarah telah tertutup.
Pertama, harapan. Harapan adalah matahari di langit jiwa. Tak ada sesuatu yang
sangat kita butuhkan saat reruntuhan kekalahan menghimpit jiwa kita, selain harapan
yang dapat mengembalikan rasa percaya diri kita untuk bangkit kembali. Begitulah Allah
SWT mengembalikan harapan itu ke dalam jiwa sahabat-sahabat Rasulullah SAW,
setelah kekalahan pada perang Uhud.
Allah SWT berfirman,
“Dan janganlah kamu merasa hina dan bersedih, sebab kamulah yang lebih
tinggi (unggul) jika kamu beriman. Jika kamu tersentuh luka (musibah), maka luka
(musibah) yang sama juga menimpa kaum yang lain. Dan begitulah hari-hari
(kemenangan) kami pergilirkan diantara manusia.” (QS. Ali Imran : 140)
Dalam keadaan selemah apapun juga, ketika kita mendengar pernyataan sakral
seperti itu, pasti ia akan mengembalikan kekuatan jiwa kita untuk melakukan lompatan
ulang dalam sejarah. Pada ayat diatas, Allah SWT tidak sekedar memberi harapan, tapi
juga menambah kekuatan harapan itu dengan membuka celah sejarah melalaui hokum
‘siklus menang-kalah’ dalam sejarah peradaban manusia sepanjang zaman.
Bahwa kekalahan dalam hukum itu, tidak boleh menjadi titik awal menuju
kepunahan historis. Selalu ada kesempatan untuk memperbaiki kesalahan pada
lompatan awal, kedua, atau ketiga, dalam perjalanan sejarah. Watak sejarah, dengan
begitu tidaklah niscaya (deter-minant), sebagaimana manusia yang tumbuh dari kecil, besar, tua, lalu mati. Sunnatut tadawul (hukum perputaran) itu memungkinkan ketuaan
untuk sebuah peradaban dijungkirbalik menjadi kemudaan, sekaligus menghentikan,
secara tiba-tiba, arus realitas ketuaan berjalan menuju muara kematian historis.
Kedua, taghyirul dzat (merubah diri). Bila celah sejarah pertama tadi meupakan
celah ekstrem, maka celah sejarah kedua ini merupakan celah interen. Ada syarat-
syarat internal yang harus dipenuhi untuk dapat memanfaatkan peluang historis
tersebut. Yaitu merubah seluruh instrument kepribadian kita, mulai dari bagian terkecil,
diri, hingga bagian terbesar, masyarakat. Pada diri pun dimulai dari instrument yang
paling halus; hati, perasaan, emosi, akal hingga raga.
Allah SWT berfirman,
“Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaaan suatu kaum, kecuali bila
kaum itu yang merubah apa-apa yang ada dalam dirinya.” (Q.S. Ar-Ra’du, 14-11).
Sesungguhnya pada dua celah sejarah ini, tersimpan kunci dinamika gerak
sejarah kehidupan manusia, yang tak pernah mati hingga kiamat. Ini adalah
‘kemungkinan-kemungkinan’ yang dijadikan Allah SWT sebagai peluang bagi kita untuk
hadir kembali di gelanggang sejarah. Masalahnya, maukah kita memanfaatkan peluang
itu?

KELUARGA PAHLAWAN

Perenungan yang mendalam terhadap sejarah akan mempertemukan kita dengan satu
kenyataan besar; bahwa sejarah sesungguhnya merupakan industri para pahlawan.
Pada skala peradaban, kita menemukan, bahwa setiap bangsa mempunyai giliran
merebut piala kepahlawanan. Di dalam komunitas besar sebuah bangsa, kita juga
menemukan bahwa suku-suku tertentu saling bergiliran merebut piala kepahlawanan.
Dan dalam komunitas suku-suku itu, kita menemukan, bahwa keluarga-keluarga atau
klan-klan tertentu saling bergiliran merebut piala kepahlawanan itu.
Bangsa Arab, misalnya, pemah merebut piala peradaban. Tapi dari sekian banyak suku-
suku bangsa Arab, suku Quraisy adalah salah satu yang pemah merebut piala itu. Dan
dari perut suku Quraisy, keluarga Bani Hasyim, darimana Rasulullah SAW berasal,
adalah salah satu klan yang pemah merebut piala itu.
Pada saat sebuah Marga atau klan melahirkan pahlawan-pahlawan bagi suku atau
bangsanya, biasanya dalam keluarga itu berkembang nilai-nilai kepahlawan yang luhur,
yang diserap secara natural oleh setiap anggota keluarga begitu ia mulai menghisap
udara kehidupan. Kepahlawanan dalam klan para pahlawan biasanya terwariskan
melalui faktor genetik, dan juga pewarisan atau sosialisasi nilai-nilai kepahlawanan itu.
Apabila seorang pahlawan besar muncul dari sebuah keluarga, biasanya pahlawan itu
secara genetis mengumpulkan semua kebaikan yang berserakan pada individu-individu
yang ada dalam keluarganya.
Khalid Bin Walid, misalnya, muncul dari sebuah klan besar yang bemama Bani
Makhzum. Beberapa saudaranya bahkan lebih dulu masuk Islam dan cukup berjasa
bagi Islam. Tapi kebaikan-kebaikan yang berserakan pada saudara-saudaranya justru
berkumpul dalam dirinya. Maka jadilah ia yang terbesar. Umar Bin Khattab juga berasal
dari klan yang sama dengan Khalid Bin Walid. Umar juga mengumpulkan kebaikan-kebaikan yang berserakan di tengah individu-individu keluarganya. Maka jadilah ia yang
terbesar.
Tetapi diantara Khalid dan Umar terdapat kesamaan-kesamaan yang menonjol.
Keduanya memiliki kesamaan pada bangunan fisik yang tinggi dan besar, serta wajah
yang sangat mirip. Lebih dari itu kedua pahlawan mukmin sejati itu juga memiliki
bangunan katakter yang sama, yaitu keprajuritan. Mereka berdua sama-sama
berkarakter sebagai prajurit militer.
Pahlawan-pahlawan musyrikin Quraisy yang berasal dari klan Bani Makhzum juga
memiliki kemiripan dengan Umardan Khalid. Misalnya, Abu jahal. Bahkan putera Abu
Jahalyang bemama Ikrimah bin Abi Jahal, sempatmemimpin pasukan musyrikin Quraisy
dalam beberapa peperangan melawan kaum muslimin, sebelum akhimya memeluk
Islam. Kenyataan yang sama seperti ini juga terjadi pada keluarga-keluarga ilmuwan
atau ulama, pemimpin politik atau sosial, keluarga pengusaha, dan seterusnya.
Keluarga adalah muara tempat calon-calon pahlawan menemukan ruang
pertumbuhannya.
Walaupun tetap menyisakan perbedaan pada kecenderungannya, Abbas Mahmud AI-
Aqqad, yang menulis biografi kedua pahlawan jenius itu, mengatakan bahwa
keprajuritan pada Umar bersifat pembelaan, tapi pada Khalid bersifat agresif. Agaknya
ini pula yang menjelaskan, mengapa Khalid lebih tepat memimpin pasukan ekspansi,
dan Umar lebih cocok memimpin negara. Pada kedua fungsi itu kecenderungan pada
garis karakter keduanya terserap secara penuh, maka mereka masing-masing mencapai
puncak.

KEMANJAAN

Jika kita hanya membaca biografi pahlawan, atau mendengar cerita kepahlawanan dari
seseorang yang belum pernah kita lihat, barangkali imajinasi yang tersusun dalam
benak kita tentang pahlawan itu akan berbeda dengan kenyataannya. Itu berlaku untuk
lukisan fisiknya, juga untuk lukisan emosionalnya.
Abu hasan Ali Al-Halani Al-Nadwi, yang tinggal di anak benua India, telah membaca
tulisan-tulisan Sayyid Quthub, yang tinggal di Mesir. Tulisan –tulisannya memuat
gagasan-gagasan yang kuat, solid, atraktif, berani dan terasa sangat keras. Barangkali
bukan merupakan suatu kesalahan apabila dengan tanpa alasan kita membuat korelasi
antara tulisan–tulisan itu dengan postur tubuh Sayyid Quthub. Penulisnya, seperti juga
tulisannya, pastilah seorang laki-laki bertubuh kekar, tinggi dan besar. Itulah kesan yang
terbentuk dalam benak Al Nadwi. Tapi ketika ia berkunjung ke Mesir , ternyata ia
menemukan seorang laki-laki dengan perawakan yang kurus, ceking dan jelas tidak
kekar. Begitu juga dengan potret emosi seorang pahlawan. Kadang–kadang ketegaran
dan keberanian para pahlawan membuat kita berpikir bahwa mereka sama sekali tidak
mempunyai sisi-sisi lain dalam dirinya, yang lebih mirip dengan sisi-sisi kepribadian
orang-orang biasa. Misalnya, kebutuhan akan kemanjaan.
Umar bin khattab mengajar sesuatu yang lain ketika beliau mengatakan : “jadilah
engkau seperti seorang bocah didepan istrimu”. Laki-laki dengan postur tubuh yang
tinggi, besar, putih dan botak itu yang dikenal keras, tegas, berani dan tegar, ternyata
senang bersikap manja didepan istrinya. Mungkin bukan cuma Umar. Sebab Rasulullah
SAW, ternyata juga melakukan hal yang sama. Adalah Khadijah tempat ia kembali saat
kecemasan dan ketakutan melandanya setelah menerima wahyu pertama. Maka
kebesaran jiwa Khadijah yang senantiasa beliau kenang dan yang memberikan tempat
paling istimewa bagi perempuan itu dalam hatinya, bahkan setelah beliau menikahi
seorang Aisyah. Tapi beliau juga sering berbaring dalam pangkuan Aisyah untuk disisiri
rambutnya, bahkan ketika beliau sedang i’tikaf dibulan Ramadhan.
Itu mengajarkan kita sebuah kaidah, bahwa para pahlawan mukmin sejati telah
menggunakan segenap energi jiwanya untuk dapat mengukir legenda
kepahlawanannya. Tapi untuk itu mereka membutuhkan suplai energi kembali. Dan
untuk sebagiannya, itu berasal dari kelembutan dan kebesaran jiwa sang istri. Kemanjaan itu, dengan begitu, barangkali memang merupakan cara para pahlawan
tersebut memenuhi kebutuhan jiwa mereka akan ketegaran, keberanian, ketegasan dan
kerja-kerja emosi lainnya.
Kepahlawanan membutuhkan energi jiwa yang dasyat, maka para pahlwan harus
mengetahui dari mana mereka mendapatkan sumber energi itu. Petuah ini agaknya tidak
pernah salah : “Dibalik setiap laki-laki agung, selalu berdiri wanita agung” dan
mengertilah kita, mengapa sastrawan besar besar Mesir ini, Musthafa Shadiq Al Rafii,
mengatakan “kekuatan seorang wanita sesungguhnya tersimpan dibalik kelemahannya” .

BIAR KUNCUPNYA MEKAR JADI BUNGA

Ternyata obrolan kita tentang cinta belum selesai. Saya telah menyatakan sebelumnya
betapa penting peranan kata itu dalam mengekspresikan kata cinta. Tapi itu bukan satu-
satunya bentuk ekspresi cinta.
Cinta merupakan sebentuk emosi manusiawi. Karena itu ia bersifat fluktuatif naik turun
mengikuti semua anasir di dalam dan di luar di diri manusia yang mempengaruhinya.
Itulah sebabnya saya juga mengatakan, mempertahankan dan merawat rasa cinta
sesungguhnya jauh lebih sulit dari sekedar menumbuhkannya.
Jadi obrolan kita belum selesai. Walaupun begitu, saya juga tidak merasakan adanya
urgensi utk menjawab pertanyaan ini : apa itu cinta ?
Itu terlalu filosofis. Saya lebih suka menjawab pertanyaan ini : bagaimana seharusnya
anda mencintai ? pertanyaan ini melekat erat dalam kehidupan individu kita.
Cinta itu bunga; bunga yang tumbuh mekar dalam taman hati kita. Taman itu adalah
kebenaran. Apa yg dengan kuat menumbuhkan, mengembangkan, dan memekarkan bunga-bunga adalah air dan matahari. Air dan matahari adalah
kebaikan. Air memberinya kesejukan dan ketenangan, tapi matahari memberinya gelora
kehidupan. Cinta, dengan begitu, merupakan dinamika yg bergulir
secara sadar di atas latar wadah perasaan kita
Maka begitulah seharusnya anda mencintai; menyejukkan, menenangkan,
namun juga menggelorakan. Dan semua makna itu terangkum dalam kata ini :
menghidupkan. Anda mungkin dekat dengan peristiwa ini ; bagaimana istri
anda melahirkan seorang bayi, lalu merawatnya, dan menumbuhkannya,
mengembangkannya serta menjaganya. Ia dengan tulus berusaha memberinya
kehidupan.
Bila anda ingin mencintai dengan kuat, maka anda harus mampu memperhatikan
dengan baik, menerimanya apa adanya dengan tulus, lalu berusaha
mengembangkannya semaksimal mungkin, kemudian merawatnya..menjaganya dengan
sabar. Itulah rangkaian kerja besar para pecinta; pengenalan, penerimaan,
pengembangan dan perawatan.
Apakah anda telah mengenal isteri anda dengan seksama? Apakah anda mengetahui
dengan baik titik kekuatan dan kelemahannya? Apakah anda mengenal kecenderungan-
kecenderungannya? Apakah anda mengenal pola-pola ungkapannya; melalui
pemaknaan khusus dalam penggunaan kata, melalui gerak motorik refleksinya, melalui
isyarat rona wajahnya, melalui tatapannya, melalui sudut matanya?
Apakah anda dapat merasakan getaran jiwanya, saat ia suka dan saat ia benci, saat ia
takut dan begitu membutuhkan perlindungan? Apakah anda dapat melihat gelombang-
gelombang mimpi-mimpinya,harapan-harapannya?
Sekarang perhatikanlah bagaimana tingkat pengenalan Rosululloh saw
terhadap istrinya, Aisyah. Suatu waktu beliau berkata, ” Wahai Aisyah, aku tahu
kapan saatnya kamu ridha dan kapan saatnya kamu marah padaku. Jika kamu
ridha, maka kamu akan memanggilku dengan sebutan : Ya Rosulullah ! tapi jika
kamu marah padaku, kamu akan memanggilku dengan sebutan ” Ya Muhammad”.
Apakah beda antara Rosululloh dan Muhammad kalau toh obyeknya itu-itu saja ?
Tapi Aisyah telah memberikan pemaknaan khusus ketika ia menggunakan kata
yang satu pada situasi jiwa yang lain.
Pengenalan yang baik harus disertai penerimaan yang utuh. Anda harus mampu
menerimanya apa adanya. Apa yang sering menghambat dlm proses penerimaan
total itu adalah pengenalan yang tidak utuh atau “obsesi” yang berlebihan terhadap fisik. Anda tidak akan pernah dapat mencintai seseorang secara kuat dan dalam kecuali jika
anda dapat menerima apa adanya. Dan ini tidak selalu berarti bahwa anda menyukai
kekurangan dan kelemahannya. Ini lebih berarti bahwa kelemahan dan kekurangan
bukanlah kondisi akhir kepribadiannya, dan selalu ada peluang
untuk berubah dan berkembang. Dengan perasaan itulah seorang ibu melihat bayinya.
Apakah yg ia harap dari bayi kecil itu ketika ia merawatnya, menjaganya, dan
menumbuhkannya? Apakah ia yakin bahwa kelak anak itu akan membalas
kebaikannya? Tidak. Semua yg ada dlm jiwanya adalah keyakinan bahwa bayi ini punya
peluang utk berubah dan berkembang.
Dan karenanya ia menyimpan harapan besar dlm hatinya bahwa kelak hari-hari jugalah
yg akan menjadikan segalanya lebih baik. Penerimaan positif itulah yang mengantar kita
pada kerja mencintai selanjutnya ; pengembangan.
Pada mulanya seorang wanita adalah kuncup yg tertutup. Ketika ia memasuki
rumah anda, memasuki wilayah kekuasaan anda, menjadi istri anda, menjadi
ibu anak-anak anda; Andalah yg bertugas membuka kelopak kuncup itu, meniup
nya perlahan, agar ia mekar menjadi bunga. Andalah yg harus menyirami bunga
itu dengan air kebaikan, membuka semua pintu hati anda baginya, agar ia dapat
menikmati cahaya matahari yg akan memberinya gelora kehidupan. Hanya dengan
kebaikanlah bunga-bunga cinta bersemi.
Dan ungkapan “Aku Cinta Kamu” boleh jadi akan kehilangan makna ketika ia dikelilingi
perlakuan yang tidak simpatik dan mengembangkan.
Apa yg harus anda berikan kepada istri anda adalah peluang utk berkembang,
keberanian menyaksikan perkembangannya tanpa harus merasa superioritas anda
terganggu. Ini tidak berarti anda harus memberi semua yang ia senangi, tapi berikanlah
apa yg ia butuhkan.
Tetapi setiap perkembangan harus tetap berjalan dlm keseimbangan.
Dan inilah fungsi perawatan dari rasa cinta. Tidak boleh ada perkembangan yang
mengganggu posisi dan komunikasi. Itulah sebabnya terkadang anda perlu
memotong sejumlah yg sudah kepanjangan agar tetap terlihat serasi dan harmoni.
Hidup adalah simponi yg kita mainkan dengan indah.
Maka, duduklah sejenak bersama dengan istri anda, tatap matanya lamat-lamat,
dengarkan suara batinnya, getaran nuraninya, dan diam-diam bertanyalah pada diri
sendiri : Apakah ia telah menjadi lebih baik sejak hidup bersama dengan anda?
Mungkinkah suatu saat ia akan mengucapkan puisi Iqbal tentang gurunya : DAN NAFAS CINTANYA MENIUP KUNCUPKU…
MAKA IA MEKAR MENJADI BUNGA…

AKHIR SEJARAH CINTA KITA

Suatu saat dalam sejarah cinta kita
Kita tidur saling memunggungi
Tapi jiwa berpeluk-peluk
Senyum mendekap senyum
Suatu saat dalam sejarah cinta kita
Raga tak lagi saling membutuhkan Hanya Jiwa Kita sudah lekat menyatu
Rindu mengelus rindu
Suatu saat dalam sejarah cinta kita
Kita hanya mengisi waktu dengan cerita kita
Mengenang dan hanya itu
Yang kita punya
Suatu saat dalam sejarah cinta kita
Kita mengenang masa depan kebersamaan
Kemana cinta kan berakhir
Disaat tak ada akhir
Yaaa… Teruslah merayakan cinta hingga sejarah cinta kita, dimana cinta kan berakhir
disaat tak ada akhir.
Baarakallahu laka, wa Baarakallahu ‘alaika wa Jama’a bainakumaa fii khaiir…

CINTA di ATAS CINTA

Perempuan oh perempuan! Pengalaman bathin para pahlawan dengan mereka ternyata
jauh lebih rumit dari yang kita bayangkan. Apa yang terjadi, misalnya jika kenangan
cinta hadir kembali di jalan pertaubatan seorang pahlawan? Keagungan!
Itulah, misalnya, pengalaman bathin Umar bin Abdul Aziz. Sebenarnya Umar seorang
ulama, bahkan seorang mujtahid. Tapi ia dibesarkan di lingkungan istana Bani
Umayyah, hidup dengan gaya hidup mereka, bukan gaya hidup seorang ulama. Ia
bahkan menjadi trendsetter di lingkungan keluarga kerajaan. Shalat jamaah kadang
ditunda karena ia masih sedang menyisir rambutnya.
Tapi, begitu ia menjadi khalifah, tiba-tiba kesadaran spiritualnya justru tumbuh
mendadak pada detik inagurasi nya. Iapun bertaubat. Sejak itu ia bertekad untuk
berubah dan merubah dinasti Bani Umayyah. Aku takut pada neraka katanya
menjelaskan rahasia perubahan itu kepada seorang ulama terbesar zamannya, pionir
kodifikasi hadits, yang duduk di sampingnya, Al Zuhri.
Ia memulai perubahan besar itu dari dari dalam dirinya sendiri, istri, anak-anaknya,
keluarga kerajaan, hingga seluruh rakyatnya. Kerja keras ini membuahkan hasil; walaupun hanya memerintah dalam 2 tahun 5 bulan, tapi ia berhasil menggelar
keadilan, kemakmuran dan kejayaan serta nuansa kehidupan zaman Khulafa Rasyidin.
Maka iapun digelari Khalifah Rasyidin kelima.
Tapi itu ada harganya. Fisiknya segera anjlok. Saat itulah istrinya datang membawa
kejutan besar; menghadiahkan seorang gadis kepada suaminya untuk dinikahinya (lagi).
Ironis, karena Umar sudah lama mencintai dan sangat menginginkan gadis itu, juga
sebaliknya. Tapi istrinya, Fatimah, tidak pernah mengizinkannya; atas nama cinta dan
cemburu. Sekarang justru sang istrilah yang membawanya sebagai hadiah. Fatimah
hanya ingin memberikan dukungan moril kepada suaminya.
Itu saat terindah dalam hidup Umar, sekaligus saat paling mengharu- biru. Kenangan
romantika sebelum saat perubahan bangkit kembali, dan menyalakan api cinta yang
dulu pernah membakar segenap jiwanya. Tapi saat cinta ini hadir di jalan
pertaubatannya, ketika cita-cita perubahannya belum selesai.
Cinta dan cita bertemu atau bertarung, di sini, di pelataran hati Sang Khalifah, Sang
Pembaru. Apa yang salah kalau Umar menikahi gadis itu? Tidak ada! Tapi, Tidak! Ini
tidak boleh terjadi. Saya benar-benar tidak merubah diri saya kalau saya masih harus
kembali ke dunia perasaan semacam ini, Kata Umar.
Cinta yang terbelah dan tersublimasi diantara kesadaran psiko-spiritual, berujung
dengan keagungan; Umar memenangkan cinta yang lain, karena memang ada cinta di
atas cinta! Akhirnya ia menikahkan gadis itu dengan pemuda lain.
Tidak ada cinta yang mati di sini. Karena sebelum meninggalkan rumah Umar, gadis itu
bertanya dengan sendu, Umar, dulu kamu pernah sangat mencintaiku. Tapi kemanakah
cinta itu sekarang? Umar bergetar haru, tapi ia kemudian menjawab, Cinta itu masih
tetap ada, bahkan kini rasanya jauh lebih dalam!

TRAGEDI CINTA

Ada sisi lain yang menarik dari pengalaman emosional para pahlawan yang
berhubungan dengan perempuan. Kalau kebutuhan psikologis dan bilogis terhadap
perempuan begitu kuat pada para pahlawan, dapatkah kita membayangkan seandainya
mereka tidak mendapatkannya?

Rumah tangga para pahlawan selalu menampilkan, atau bahkan menjelaskan, banyak
sisi dari kepribadian para pahlawan. Dari sanalah mereka memperoleh energi untuk
bekerja dan berkarya. Tapi jika mereka tidak mendapatkan sumber energi itu, maka
kepahlawanan mereka adalah keajaiban di atas keajaiban. Tentulah ada sumber energi
lain yang dapat menutupi kekurangan itu, yang dapat menjelaskan kepahlawanan
mereka.

Ibnu Qoyyim menceritakan kisah Sang Imam, Muhammad bin Daud Al Zhahiri, pendiri
mazhab Zhahiriyah. Beberapa saat menjelang wafatnya, seorang kawan menjenguk
beliau. Tapi justru Sang Imam mencurahkan isi hatinya, kepada sang kawan, tentang
kisah kasihnya yang tak sampai. Ternyata beliau mencintai seorang gadis tetangganya,
tapi entah bagaimana, cinta suci dan luhur itu tak pernah tersambung jadi kenyataan.
Maka curahan hatinya tumpah ruah dalam bait-bait puisi sebelum wafatnya.

Kisah Sayyid Quthub bahkan lebih tragis. Dua kalinya ia jatuh cinta, dua kali ia patah
hati, kata DR. Abdul Fattah Al-Khalidi yang menulis tesis master dan disertasi doktornya
tentang Sayyid Quthub. Gadis pertama berasal dari desanya sendiri, yang kemudian
menikah hanya tiga tahun setelah Sayyid Quthub pergi ke Kairo untuk belajar. Sayyid
menangisi peristiwa itu.

Gadis kedua berasal dari Kairo. Untuk ukuran Mesir, gadis itu tidak termasuk cantik,
kata Sayyid. Tapi ada gelombang yang unik yang menyirat dari sorot matanya, katanya
menjelaskan pesona sang kekasih. Tragedinya justru terjadi pada hari pertunangan.
Sambil menangis gadis itu menceritakan bahwa Sayyid adalah orang kedua yang telah
hadir dalam hatinya. Pengakuan itu meruntuhkan keangkuhan Sayyid; karena ia
memimpikan seorang yang perawan fisiknya, perawan pula hatinya. Gadis itu hanya
perawan pada fisiknya.
Sayyid Quthub tenggelam pada penderitaan yang panjang. Akhirnya ia memutuskan
hubungannya. Tapi itu membuatnya semakin menderita. Ketika ia ingin rujuk, gadis itu
justru menolaknya. Ada banyak puisi yang lahir dari penderitaan itu. Ia bahkan
membukukan romansa itu dalam sebuah roman.

Kebesaran jiwa, yang lahir dari rasionalitas, relaisme dan sangkaan baik kepada Allah,
adalah keajaiban yang menciptakan keajaiban. Ketika kehidupan tidak cukup bermurah
hati mewujudkan mimpi mereka, mereka menambatkan harapan kepada sumber segala
harapan; Allah!

Begitu Sayyid Quthub menyaksikan mimpinya hancur berkeping-keping, sembari
berkata, “Apakah kehidupan memang tidak menyediakan gadis impianku, atau
perkawinan pada dasarnya tidak sesuai dengan kondisiku?” Setelah itu ia berlari meraih
takdirnya; dipenjara 15 tahun, menulis Fi Dzilalil Qur’an, dan mati di tiang gantungan!
Sendiri! Hanya sendiri!

Aku Memanggil Kalian.....


Berkali-kali aku memanggilnya,

Berkali-kali aku menyebutnya,

Berkali-kali

Berkali-kali

Muhammad,

Ya Muhammad,

Sang Kekasih

Rahasia Cinta

Ruh Kasih

(Emha Ainun Nadjib)

Sahabat, apa kabar semuanya? Mudah-mudahan engkau diberikan limpahan kasih sayang Nya yang tak berhingga. Aamiin. Saya ingin meminjam waktumu sebentar. Ada seseorang yang ingin bertutur kepada kita. Ada seseorang yang ingin mengisahkan selaksa kehidupan yang mungkin sering kita dengar. Beginilah lantunannya. Simak baik-baik ya… Mudah-mudahan bermanfaat.

Bismillah, Assalamu’alaikum….

Perkenalkan!

Namaku Bilal. Ayahku bernama Rabah, seorang budak dari Abesinia, oleh karena itu nama panjangku Bilal Bin Rabah. Aku tidak tahu mengapakah Ayah dan Ibuku sampai di sini, Makkah. Sebuah tempat yang hanya memiliki benderang matahari, hamparan sahara dan sedikit pepohonan. Aku seorang budak yang menjadi milik tuannya. Umayyah, biasa tuan saya itu dipanggil. Seorang bangsawan Quraisy, yang hanya peduli pada harta dan kefanaan. Setiap jeda, aku harus bersiap kapan saja dilontarkan perintah. Jika tidak, ada cambuk yang menanti akan mendera bagian tubuh manapun yang disukainya.

Setiap waktu adalah sama, semua hari juga serupa tak ada bedanya, yakni melayani majikan dengan sempurna. Hingga suatu hari aku mendengar seseorang menyebutkan nama Muhammad. Tadinya aku tak peduli, namun kabar yang ku dengar membuatku selalu memasang telinga baik-baik. Muhammad, mengajarkan agama baru yaitu menyembah Tuhan yang maha tunggal. Tidak ada tuhan yang lain. Aku tertarik dan akhirnya, aku bersyahadat diam-diam.

Namun, pada suatu hari majikanku mengetahuinya. Aku sudah tahu kelanjutannya. Mereka memancangku di atas pasir sahara yang membara. Matahari begitu terik, seakan belum cukup, sebuah batu besar menindih dada ini. Mereka mengira aku akan segera menyerah. Haus seketika berkunjung, ingin sekali minum. Aku memintanya pada salah seorang dari mereka, dan mereka membalasnya dengan lecutan cemeti berkali-kali. Setiap mereka memintaku mengingkari Muhammad, aku hanya berucap “Ahad... ahad”. Batu diatas dada mengurangi kemampuanku berbicara sempurna. Hingga suatu saat, seseorang menolongku, Abu Bakar menebusku dengan uang sebesar yang Umayyah minta. Aku pingsan, tak lagi tahu apa yang terjadi.

Segera setelah sadar, aku dipapah Abu Bakar menuju sebuah tempat tinggal Nabi Muhammad. Kakiku sakit tak terperi, badanku hampir tak bisa tegak. Ingin sekali rubuh, namun Abu Bakar terus membimbingku dengan sayang. Tentu saja aku tak ingin mengecewakannya. Aku harus terus melangkah menjumpai seseorang yang kemudian ku cinta sampai nafas terakhir terhembus dari raga. Aku tiba di depan rumahnya. Ada dua sosok disana. Yang pertama adalah Ali bin Abi Thalib sepupunya yang masih sangat muda dan yang di sampingnya adalah dia, Muhammad.

Muhammad, aku memandangnya lekat, tak ingin mata ini berpaling. Ku terpesona, jatuh cinta, dan merasakan nafas yang tertahan dipangkal tenggorokan. Wajahnya melebihi rembulan yang menggantung di angkasa pada malam-malam yang sering ku pandangi saat istirahat menjelang. Matanya jelita menatapku hangat. Badannya tidak terlalu tinggi tidak juga terlau pendek. Dia adalah seorang yang jika menoleh maka seluruh badannya juga. Dia menyenyumiku, dan aku semakin mematung, rasakan sebuah aliran sejuk sambangi semua pori-pori yang baru saja dijilati cemeti.

Dia bangkit, dan menyongsongku dengan kegembiraan yang nampak sempurna. Bahkan hampir tidak ku percaya, ada genangan air mata di pelupuk pandangannya. Ali, saat itu bertanya “Apakah orang ini menjahati engkau, hingga engkau menangis”. “Tidak, orang ini bukan penjahat, dia adalah seorang yang telah membuat langit bersuka cita”, demikian Muhammad menjawab. Dengan kedua tangannya, aku direngkuhnya, di peluk dan di dekapnya, lama. Aku tidak tahu harus berbuat apa, yang pasti saat itu aku merasa terbang melayang ringan menjauhi bumi. Belum pernah aku diperlakukan demikian istimewa.

Selanjutnya aku dijamu begitu ramah oleh semua penghuni rumah. Ku duduk di sebelah Muhammad, dan karena demikian dekat, ku mampu menghirup wewangi yang harumnya melebihi aroma kesturi dari tegap raganya. Dan ketika tangan Nabi menyentuh tangan ini begitu mesra, aku merasakan semua derita yang mendera sebelum ini seketika terkubur di kedalaman sahara. Sejak saat itu, aku menjadi sahabat Muhammad.

Kau tidak akan pernah tahu, betapa aku sangat beruntung menjadi salah seorang sahabatnya. Itu ku syukuri setiap detik yang menari tak henti. Aku Bilal, yang kini telah merdeka, tak perlu lagi harus berdiri sedangkan tuannya duduk, karena aku sudah berada di sebuah keakraban yang mempesona. Aku, Bilal budak hitam yang terbebas, mereguk setiap waktu dengan limpahan kasih sayang Al-Musthafa. Tak akan ada yang ku inginkan selain hal ini.

Oh iya, aku ingin mengisahkan sebuah pengalaman yang paling membuatku berharga dan mulia. Inginkah kalian mendengarnya?

Di Yathrib, mesjid, tempat kami, umat Rasulullah beribadah telah berdiri. Bangunan ini dibangun dengan bahan-bahan sederhana. Sepanjang hari, kami semua bekerja keras membangunnya dengan cinta, hingga kami tidak pernah merasakan lelah. Nabi memuji hasil kerja kami, senyumannya selalu mengembang menjumpai kami. Ia begitu bahagia, hingga selalu menepuk setiap pundak kami sebagai tanda bahwa ia begitu berterima kasih. Tentu saja kami melambung.

Kami semua berkumpul, meski mesjid telah selesai dibangun, namun terasa masih ada yang kurang. Ali mengatakan bahwa mesjid membutuhkan penyeru agar semua muslim dapat mengetahui waktu shalat telah menjelang. Dalam beberapa saat kami terdiam dan berpandangan. Kemudian beberapa sahabat membicarakan cara terbaik untuk memanggil orang-orang.

“Kita dapat menarik bendera” seseorang memberikan pilihan.

“Bendera tidak menghasilkan suara, tidak bisa memanggil mereka”

“Bagaimana jika sebuah genta?”

“Bukankah itu kebiasaan orang Nasrani”

“Jika terompet tanduk?”

“Itu yang digunakan orang Yahudi, bukan?”

Semua yang hadir di sana kembali terdiam, tak ada yang merasa puas dengan pilihan-pilihan yang dibicarakan. Ku lihat Nabi termenung, tak pernah ku saksikan beliau begitu muram. Biasanya wajah itu seperti matahari di setiap waktu, bersinar terang. Sampai suatu ketika, adalah Abdullah Bin Zaid dari kaum Anshar, mendekati Nabi dengan malu-malu. Aku bergeser memberikan tempat kepadanya, karena ku tahu ia ingin menyampaikan sesuatu kepada Nabi secara langsung.

“Wahai, utusan Allah” suaranya perlahan terdengar. Mesjid hening, semua mata beralih pada satu titik. Kami memberikan kepadanya kesempatan untuk berbicara.

“Aku bermimpi, dalam mimpi itu ku dengar suara manusia memanggil kami untuk berdoa...” lanjutnya pasti. Dan saat itu, mendung di wajah Rasulullah perlahan memudar berganti wajah manis berseri-seri. “Mimpimu berasal dari Allah, kita seru manusia untuk mendirikan shalat dengan suara manusia juga….”. Begitu nabi bertutur.

Kami semua sepakat, tapi kemudian kami bertanya-tanya, suara manusia seperti apa, lelakikah?, anak-anak?, suara lembut?, keras? atau melengking? Aku juga sibuk memikirkannya. Sampai kurasakan sesuatu diatas bahuku, ada tangan Al-Musthafa di sana. “Suara mu Bilal” ucap Nabi pasti. Nafasku seperti terhenti.

Kau tidak akan pernah tahu, saat itu aku langsung ingin beranjak menghindarinya, apalagi semua wajah-wajah teduh di dalam mesjid memandangku sepenuh cinta. “Subhanallah, saudaraku, betapa bangganya kau mempunyai sesuatu untuk kau persembahkan kepada Islam” ku dengar suara Zaid dari belakang. Aku semakin tertunduk dan merasakan sesuatu bergemuruh di dalam dada. “Suaramu paling bagus duhai hamba Allah, gunakanlah” perintah nabi kembali terdengar. Pujian itu terdengar tulus. Dan dengan memberanikan diri, ku angkat wajah ini menatap Nabi. Allah, ada senyuman rembulannya untukku. Aku mengangguk.

Akhirnya, kami semua keluar dari mesjid. Nabi berjalan paling depan, dan bagai anak kecil aku mengikutinya. “Naiklah ke sana, dan panggillah mereka di ketinggian itu” Nabi mengarahkan telunjuknya ke sebuah atap rumah kepunyaan wanita dari Banu’n Najjar, dekat mesjid. Dengan semangat, ku naiki atap itu, namun sayang kepalaku kosong, aku tidak tahu panggilan seperti apa yang harus ku kumandangkan. Aku terdiam lama.

Di bawah, ku lihat wajah-wajah menengadah. Wajah-wajah yang memberiku semangat, menelusupkan banyak harapan. Mereka memandangku, mengharapkan sesuatu keluar dari bibir ini. Berada diketinggian sering memusingkan kepala, dan ku lihat wajah-wajah itu tak mengharapkan ku jatuh. Lalu ku cari sosok Nabi, ada Abu Bakar dan Umar di sampingnya. “Ya Rasul Allah, apa yang harus ku ucapkan?” Aku memohon petunjuknya. Dan kudengar suaranya yang bening membumbung sampai di telinga “ Pujilah Allah, ikrarkan Utusan-Nya, Serulah manusia untuk shalat”. Aku berpaling dan memikirkannya. Aku memohon kepada Allah untuk membimbing ucapanku.

Kemudian, ku pandangi langit megah tak berpenyangga. Lalu di kedalaman suaraku, aku berseru:

Allah Maha Besar. Allah Maha Besar

Aku bersaksi tiada Tuhan Selain Allah

Aku bersaksi bahwa Muhammad Utusan Allah

Marilah Shalat

Marilah Mencapai Kemenangan

Allah Maha Besar. Allah Maha Besar

Tiada Tuhan Selain Allah.

Ku sudahi lantunan. Aku memandang Nabi, dan kau akan melihat saat itu Purnama Madinah itu tengah memandangku bahagia. Ku turuni menara, dan aku disongsong begitu banyak manusia yang berebut memelukku. Dan ketika Nabi berada di hadapan ku, ia berkata “Kau Bilal, telah melengkapi Mesjidku”.

Aku, Bilal, anak seorang budak, berkulit hitam, telah dipercaya menjadi muadzin pertama, oleh Dia, Muhammad, yang telah mengenyahkan begitu banyak penderitaan dari kehidupan yang ku tapaki. Engkau tidak akan pernah tahu, mengajak manusia untuk shalat adalah pekerjaan yang dihargai Nabi begitu tinggi. Aku bersyukur kepada Allah, telah mengaruniaku suara yang indah. Selanjutnya jika tiba waktu shalat, maka suaraku akan memenuhi udara-udara Madinah dan Makkah.

Hingga suatu saat,

Manusia yang paling ku cinta itu dijemput Allah dengan kematian terindahnya. Purnama Madinah tidak akan lagi hadir mengimami kami. Sang penerang telah kembali. Tahukah kau, betapa berat ini ku tanggung sendirian. Aku seperti terperosok ke sebuah sumur yang dalam. Aku menangis pedih, namun aku tahu sampai darah yang keluar dari mata ini, Nabi tak akan pernah kembali. Di pangkuan Aisyah, Nabi memanggil ‘ummatii… ummatiii’ sebelum nafas terakhirnya perlahan hilang. Aku ingat subuh itu, terakhir nabi memohon maaf kepada para sahabatnya, mengingatkan kami untuk senantiasa mencintai kalam Ilahi. Kekasih Allah itu juga mengharapkan kami untuk senantiasa mendirikan shalat. Jika ku kenang lagi, aku semakin ingin menangis. Aku merindukannya, sungguh, betapa menyakitkan ketika senggang yang kupunya pun aku tak dapat lagi mendatanginya.

Sejak kematian nabi, aku sudah tak mampu lagi berseru, kedukaan yang amat membuat ku lemah. Pada kalimat pertama lantunan adzan, aku masih mampu menahan diri, tetapi ketika sampai pada kalimat Muhammad, aku tak sanggup melafalkannya dengan sempurna. Adzanku hanya berisi isak tangis belaka. Aku tak sanggup melafalkan seluruh namanya, ‘Muhammad’. Jangan kau salahkan aku. Aku sudah berusaha, namun, adzanku bukan lagi seruan. Aku hanya menangis di ketinggian, mengenang manusia pilihan yang menyayangiku pertama kali. Dan akhirnya para sahabat memahami kesedihan ini. Mereka tak lagi memintaku untuk berseru.

Sekarang, ingin sekali ku memanggil kalian… memanggil kalian dengan cinta. Jika kalian ingin mendengarkan panggilanku, dengarkan aku, akan ada manusia-manusia pilihan lainnya yang mengumandangkan adzan. Saat itu, anggaplah aku yang memanggil kalian. Karena, sesungguhnya aku sungguh merindui kalian yang bersegera mendirikan shalat.

Alhamdulillah kisahku telah sampai, ku sampaikan salam untuk kalian. Wassalamu’alaikum

Air Mata Rasulullah SAW


Tiba-tiba dari luar pintu terdengar seorang yang berseru mengucapkan salam. "Bolehkah saya masuk?" tanyanya. Tapi Fatimah tidak mengizinkannya masuk, "Maafkanlah, ayahku sedang demam," kata Fatimah yang membalikkan badan dan menutup pintu.

Kemudian ia kembali menemani ayahnya yang ternyata sudah membuka mata dan bertanya pada Fatimah, "Siapakah itu wahai anakku?" "Tak tahulah ayahku, orang sepertinya baru sekali ini aku melihatnya," tutur Fatimah lembut.

Lalu, Rasulullah menatap puterinya itu dengan pandangan yang menggetarkan. Seolah-olah bahagian demi bahagian wajah anaknya itu hendak dikenang. "Ketahuilah, dialah yang menghapuskan kenikmatan sementara, dialah yang memisahkan pertemuan di dunia. Dialah malaikatul maut," kata Rasulullah, Fatimah pun menahan ledakkan tangisnya. Malaikat maut datang menghampiri, tapi Rasulullah menanyakan kenapa Jibril tidak ikut sama menyertainya.

Kemudian dipanggilah Jibril yang sebelumnya sudah bersiap di atas langit dunia menyambut ruh kekasih Allah dan penghulu dunia ini. "Jibril, jelaskan apa hakku nanti di hadapan Allah?" Tanya Rasululllah dengan suara yang amat lemah. "Pintu-pintu langit telah terbuka, para malaikat telah menanti ruhmu. Semua syurga terbuka lebar menanti kedatanganmu," kata Jibril. Tapi itu ternyata tidak membuatkan Rasulullah lega, matanya masih penuh kecemasan.

"Engkau tidak senang mendengar khabar ini?" Tanya Jibril lagi. "Khabarkan kepadaku bagaimana nasib umatku kelak?" "Jangan khawatir, wahai Rasul Allah, aku pernah mendengar Allah berfirman kepadaku: 'Kuharamkan syurga bagi siapa saja, kecuali umat Muhammad telah berada di dalamnya," kata Jibril.

Detik-detik semakin dekat, saatnya Izrail melakukan tugas. Perlahan ruh Rasulullah ditarik. Nampak seluruh tubuh Rasulullah bersimbah peluh, urat-urat lehernya menegang. "Jibril, betapa sakit sakaratul maut ini."

Perlahan Rasulullah mengaduh. Fatimah terpejam, Ali yang di sampingnya menunduk semakin dalam dan Jibril memalingkan muka. "Jijikkah kau melihatku, hingga kau palingkan wajahmu Jibril?" Tanya Rasulullah pada Malaikat pengantar wahyu itu.

"Siapakah yang sanggup, melihat kekasih Allah direnggut ajal," kata Jibril. Sebentar kemudian terdengar Rasulullah mengaduh, karena sakit yang tidak tertahankan lagi.

"Ya Allah, dahsyat nian maut ini, timpakan saja semua siksa maut ini kepadaku, jangan pada umatku. "Badan Rasulullah mulai dingin, kaki dan dadanya sudah tidak bergerak lagi.

Bibirnya bergetar seakan hendak membisikkan sesuatu, Ali segera mendekatkan telinganya. "Uushiikum bis shalati, wa maa malakat aimanukum --peliharalah shalat dan peliharalah orang-orang lemah di antaramu."

Diluar pintu tangis mulai terdengar bersahutan, sahabat saling berpelukan. Fatimah menutupkan tangan di wajahnya, dan Ali kembali mendekatkan telinganya ke bibir Rasulullah yang mulai kebiruan. "Ummatii, ummatii, ummatiii?" - "Umatku, umatku, umatku"

Dan, berakhirlah hidup manusia mulia yang memberi sinaran itu. Kini, mampukah kita mencintai sepertinya? Allahumma sholli 'ala Muhammad wa baarik alaaa wa salim 'alaihi Betapa cintanya Rasulullah kepada kita.

Ada Apa Dengan Cinta


Suatu hari, tiga tahun yang lalu, saya sedang bete berat. Entah mengapa, dunia terasa sempit, sumpek dan menyebalkan. Padahal banyak pekerjaan yang mestinya saya selesaikan. Laporan praktikum yang bertumpuk, makalah-makalah serta seabrek PR dari banyak organisasi yang kebetulan saya ikuti. Dalam perjalanan pulang menuju kost, mata saya tiba-tiba tertumbuk pada sebuah wartel. Tanpa tahu mau menelepon siapa dan untuk apa menelepon, saya dengan linglung memasuki salah satu kabin. Sebuah nomor tiba-tiba terpencet otomatis. 8411063! “Assalamu’alaikum…” sebuah suara yang mendadak terasa merdu terdengar.

Seperti ada suntikan kesegaran yang luar biasa, mendadak semangat saya bangkit. Percakapan yang mengalir begitu saja telah mengubah dunia yang tadinya abu-abu menjadi penuh warna. Pemilik suara itu adalah seorang sahabat yang sangat dekat dengan saya. Meskipun jarang bertemu, kami yakin, ada cinta yang menginspirasikan berbagai ide mulai dari yang sederhana sampai briliyan. Cinta itu yang kami yakini menjadi pemotivator dari setiap langkah yang kian hari kian berat.

Ah, Cinta…

Saya selalu terpana dengan cinta. Membuat pikiran ini dengan susah payah membayangkan seorang Abu Bakar yang tiba-tiba berlari kesana kemari, kadang ke depan, ke samping, lantas tiba-tiba ke belakang rasulullah. Saat itu mereka sedang dalam perjalanan hijrah menuju Madinah. Di belakang, orang-orang kafir Quraisy mengejar, bermaksud membunuh Muhammad SAW. Tentu saja sang nabi terheran-heran. Beliau pun bertanya dan dijawab oleh Abu Bakar, bahwa ketika ia melihat musuh ada di belakang, maka Abu Bakar berlari ke belakang. Jika musuh di depan, Abu Bakar lari ke depan, dan seterusnya. Abu Bakar siap menjadi tameng buat rasulullah. Agar jika ada musuh menyerang, ia lah yang lebih dulu menerimanya.

Itulah cinta. Sama seperti ketika mereka akhirnya kecapekan dan menemukan sebuah gua. Abu Bakar melarang Rasul masuk sebelum ia membersihkan terlebih dulu. Saat membersihkan, Abu Bakar melihat 3 buah lubang. Satu lubang ia tutup dengan sobekan kain bajunya, lalu yang dua ia tutup dengan ibu jari kakinya. Rasul pun tidur di pangkuan Abu Bakar. Pada saat itulah, Abu Bakar merasakan kesakitan yang luar biasa. Ia digigit ular. Namun ia tidak mau membangunkan Rasul dan terus menahan sakit hingga air matanya menetes. Tetesan itu menimpa rasul dan terbangunlah beliau. Berkat mukzizat Rasul, sakit itu pun berhasil disembuhkan. (Sumber, ‘Berkas-berkas Cahaya Kenabian’, Ahmad Muhammad Assyaf).

Ada apa dengan cinta? Kalau Mbak Izzatul Jannah (salah seorang teman dekat juga) menjawab, “ada energi disana”. Saya sepakat dengan pendapat itu. Bukan karena beliau adalah teman dekat, tetapi karena saya telah merasakannya. Dan saya ingin berbagai cahaya dengan kalian.

Cinta Positif vs Cinta Negatif

Jujur, saya mungkin kurang ngeh jika bicara masalah cinta, karena saya belum menikah. (He…he, mohon doanya ya…). Saya pun alhamdulillah belum sempat pacaran, karena Allah keburu ‘menyesatkan’ saya dari jalan kemaksiatan menuju jalan yang terang benderang, jalan yang kita yakini bersama kebenaran dan keindahannya. Namun justru itulah, saya lantas menikmati cinta yang sejati. Lewat para sahabat yang mengantarkan diri ini semakin hari semakin berkarat (maksudnya kadar karatnya makin tinggi, seperti logam mulia itu lho…) alias semakin baik. Serta tidak ketinggalan, cinta kepada sang pemberi kehidupan alias cinta hakiki yang tertinggi.

Seorang sahabat pernah bernasyid di depan saya, menukil sebuah nasyid yang dipopulerkan oleh SNADA.

Ingin kukatakan, arti cinta kepada dirimu dinda

Agar kau mengerti, arti sesungguhnya

Tak akan terlena dan terbawa, alunan bunga asmara

Yang kan membuat dirimu sengsara

Cinta suci luar biasa, rahmat sang pencipta

Kepada semua hamba-hambanya

Jangan pernah kau berpaling dari cinta

Cinta dari sang maha pencipta

Kau pasti tergoda…

Nyanyian itu membuat saya merenung panjang lebar. Yups, ketemu deh. Ada cinta positif, ada juga cinta negatif. Jika cinta adalah energi, maka akan muncul pula energi positif dan energi negatif.

Adanya energi membuat semua terasa ringan. Dengan energi, gampang saja si Edo misalnya, menghajar serombongan preman yang mengusili pacarnya, Dewi. Konon cinta bisa membuat si penakut menjadi pemberani. Dengan energi pula puasa ramadhan terasa begitu indah, meskipun sebulan penuh kita diperintahkan untuk tidak makan dan minum dari terbit hingga terbenam matahari.

Kendali, itu kuncinya

Energi itu akan di dihasilkan oleh reaktor hati, pembedanya adalah faktor pengendali. PLTN adalah sebuah tempat berlangsungnya reaksi nuklir yang terkendali, sehingga energi yang dilepaskan dapat menjadi komponen yang berfungsi untuk manusia. Itu energi positif.

Jika reaksi nuklir tidak terkendali, bayangkanlah ledakan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki yang menewaskan ratusan ribu manusia dan menimbulkan kerugian yang luar biasa. Itu energi negatif.

Karena reaktor tersebut adalah hati, maka semua manusia pasti memilikinya. Positif atau negatif tergantung pada pengendalian manusia tersebut terhadap hati yang dimiliki. Seperti sabda rasulullah SAW :

“Inna fii jasadi mudhghotan Idza sholuhat sholuhal jasadu kulluhu. Waidza fasadat fasadal jasadu kulluhu. Alaa wahiyal qolbu.”

Sesungguhnya dalam jasad ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baiklah seluruhnya. Jika ia rusak, maka rusaklah seluruhnya. Ingatlah bahwa ia adalah hati. (HR Bukhari Muslim).

Cinta Negatif, Apaan tuh?!

Adalah cinta yang dialirkan dari energi tak terkendali. Ini nich, cinta yang merusak. Terlahir dari syubhat dah syahwat. Ngakunya moderat, padahal kuno berat. Bagaimana tidak kuno, cinta yang lahir dari syahwat mulai ada sejak jaman bauhela, bagaimana mungkin orang yang tidak pacaran disebut sebagai ‘ketinggalan jaman?’

Cinta negatif kini telah membanjiri pasaran, menebar kemadhorotan. Remaja gelagapan dan tidak tahu jalan, akhirnya ikut-ikutan. Pacaran, free sex, kumpul kebo, selingkuh… mendadak jadi tren. Secara normatif, semua perempuan tidak mau melihat lelaki yang dicintai ngabuburit dengan perempuan lain. Namun anehnya, ia malah berdandan seseksi mungkin agar lelaki lain tertarik padanya.

Mana bisa kesetiaan dipertahankan jika syahwat dikedepankan?

Mau tahu korban dari cinta negatif? Kerusakan moral. Yap! Survey di Yogyakarta menyebutkan 97,05% mahasiswa di Yogya tidak perawan, Survey itu dilakukan kepada 1660 responden dan hanya 3 orang yang mengaku belum melakukan aktivitas seks termasuk masturbasi! Astaghfirullah. Terlepas dari pro dan kontra tentang kashahihan hasil survey itu, jelas… data yang tercatat menunjukan sebuah ketakutan yang luar biasa bagi para orang tua yang ingin menyekolahkan anaknya ke Yogya.

Cinta negatif telah menjelma menjadi teroris! Bukan hanya cinta yang mengeksploitasi seks, juga cinta kepada tahta dan harta yang membuat manusia berubah menjadi serigala yang sanggup tertawa-tawa ketika mengunyah bangkai rekan sendiri.

Menggapai Cinta Positif

Cinta positif adalah cinta yang frame-nya adalah cinta karena Allah. Cinta kepada Allah sebagai cinta yang hakiki, sedang cinta kepada selain Allah dilaksanakan dalam rangka ketaatan kepada Allah. Jika diatas disebutkan bahwa kata kuncinya adalah ‘kendali hati’, maka jelas, untuk menggapai cinta positif, hati harus pertama kali ditundukan. Jika hati telah ditundukkan maka akan bisa kita kendalikan. Jika hati terkendali, yakin deh, seluruh jasad dan akal kita pun mampu selaras dengan sang panglimanya tersebut.

Bahasa Pena?

Jika cinta adalah energi, maka yang terlahir dari cinta adalah produktivitas. Pena hanya salah satu dari banyak pilihan, tergantung pada potensi masing-masing. Saya memilih pena karena profesi saya adalah seorang penulis. Karena bingkai kecintaan itu adalah cinta kepada Allah, maka saya akan menjadikan tarian pena saya sebagai ekspresi kecintaan kepada Allah. Serupa tapi tak sama akan dialami oleh teman-teman yang mahir dibidang lain, memasak, memprogram komputer dan sebagainya. Bukti cinta itu adalah produktivitas. So, jika kita tidak produktif, berarti tidak ada energi yang menggerakan, yang ujung-ujungnya, kamu tidak punya cinta. Kasiaaan deh Luuu.

Ada apa dengan cinta? Jawabnya : ada energi. Muaranya, produktivitas, optimalisasi potensi. Tentu saja yang kita usahakan adalah cinta positif, sehingga produktivitas yang tercetak adalah produktivitas yang positif pula.

Rabu, 11 Februari 2009

Cinta Abu Bakar untuk Al-Musthafa

Ketika Rasulullah berada di hadapan,
Ku pandangi pesonanya dari kaki hingga ujung kepala
Tahukah kalian apa yang terjelma?
Cinta!
(Abu Bakar Shiddiq r.a)


Wajah Abu Bakar pucat pasi. Langkah kaki para pemuda Quraisy tidak lagi terdengar samar. Tak terasa tubuhnya bergetar hebat, betapa tidak, dari celah gua ia mampu melihat para pemburu itu berada di atas kepalanya. Setengah berbisik berkatalah Abu Bakar.
“Wahai Rasul Allah, jika mereka melihat ke kaki-kaki mereka, sesungguhnya mereka pasti melihat kita berdua”. Rasulullah memandang Abu Bakar penuh makna. Ditepuknya punggung sahabat dekatnya ini pelan sambil berujar “Janganlah engkau kira, kita hanya berdua. Sesungguhnya kita bertiga, dan yang ketiga adalah Dia, yang menggenggam kekuasaan maha, Allah”.
Sejenak ketenangan menyapa Abu Bakar. Sama sekali ia tidak mengkhawatirkan keselamatannya. Kematian baginya bukan apa-apa, ia hanya lelaki biasa. Sedang, untuk lelaki tampan yang kini dekat di sampingnya, keselamatan di atas mati dan hidupnya. Bagaimana semesta jadinya tanpa penerang. Bagaimana Madinah jika harus kehilangan purnama.
Bagaimana dunia tanpa benderang penyampai wahyu. Sungguh, ia tak gentar dengan tajam
mata pedang para pemuda Quraisy, yang akan merobek lambung serta menumpahkan darahnya. Sungguh, ia tidak khawatir runcing anak panah yang akan menghunjam setiap jengkal tubuhnya. Ia hanya takut, Muhammad, ya Muhammad.. mereka membunuh Muhammad.

***

Berdua mereka berhadapan, dan mereka sepakat untuk bergantian berjaga. Dan keakraban
mempesona itu bukan sebuah kebohongan. Abu Bakar memandang wajah syahdu di depannya dalam hening. Setiap guratan di wajah indah itu ia perhatikan seksama. Aduhai betapa ia mencintai putra Abdullah. Kelelahan yang mendera setelah berperjalanan jauh, seketika seperti ditelan kegelapan gua. Wajah di depannya yang saat itu berada nyata, meleburkan penat yang ia rasa. Hanya ada satu nama yang berdebur dalam dadanya. Cinta.
Sejeda kemudian, Muhammad melabuhkan kepalanya di pangkuan Abu Bakar. Dan seperti anak kecil, Abu Bakar berenang dalam samudera kegembiraan yang sempurna. Tak ada yang
dapat memesonakannya selama hidup kecuali saat kepala Nabi yang ummi berbantalkan
kedua pahanya. Mata Rasulullah terpejam. Dengan hati-hati, seperti seorang ibu, telapak tangan Abu Bakar, mengusap peluh di kening Rasulullah. Masih dalam senyap, Abu Bakar terus terpesona dengan sosok cinta yang tengah beristirahat diam di pangkuannya. Sebuah asa mengalun dalam hatinya “Allah, betapa ingin hamba menikmati ini selamanya”.
Nafas harum itu terhembus satu-satu, menyapa wajah Abu Bakar yang sangat dekat. Abu
Bakar tersenyum, sepenuh kalbu ia menatapnya lagi. Tak jenuh, tak bosan. Dan seketika
wajahnya muram. Ia teringat perlakuan orang-orang Quraisy yang memburu Purnama Madinah seperti memburu hewan buruan. Bagaimana mungkin mereka begitu keji mengganggu cucu Abdul Muthalib, yang begitu santun dan amanah. Mendung di wajah Abu bakar belum juga surut. Sebuah kuntum azzam memekar di kedalaman hatinya, begitu semerbak. “Selama hayat berada dalam raga, aku Abu Bakar, akan selalu berada di sampingmu, untuk membelamu dan tak akan membiarkan sesiapapun menganggumu”.
Sunyi tetap terasa. Gua itu begitu dingin dan remang-remang. Abu Bakar menyandarkan
punggung di dinding gua. Rasulullah, masih saja mengalun dalam istirahatnya. Dan tiba-tiba saja, seekor ular mendesis-desis perlahan mendatangi kaki Abu Bakar yang terlentang. Abu Bakar menatapnya waspada, ingin sekali ia menarik kedua kakinya untuk menjauh dari hewan berbisa ini. Namun, keinginan itu dienyahkannya dari benak, tak ingin ia mengganggu tidur nyaman Rasulullah. Bagaimana mungkin, ia tega membangunkan kekasih itu.
Abu Bakar meringis, ketika ular itu menggigit pergelangan kakinya, tapi kakinya tetap saja tak bergerak sedikitpun. Dan ular itu pergi setelah beberapa lama. Dalam hening, sekujur tubuhnya terasa panas. Bisa ular segera menjalar cepat. Abu Bakar menangis diam-diam.
Rasa sakit itu tak dapat ditahan lagi. Tanpa sengaja, air matanya menetes mengenai pipi Rasulullah yang tengah berbaring. Abu Bakar menghentikan tangisannya, kekhawatirannya terbukti, Rasulullah terjaga dan menatapnya penuh rasa ingin tahu.
“Wahai hamba Allah, apakah engkau menangis karena menyesal mengikuti perjalanan ini”
suara Rasulullah memenuhi udara Gua.
“Tentu saja tidak, saya ridha dan ikhlas mengikutimu kemana pun” potong Abu Bakar masih dalam kesakitan.
“Lalu mengapakah, engkau meluruhkan air mata?”
“Seekor ular, baru saja menggigit saya, wahai putra Abdullah, dan bisanya menjalar begitu cepat”
Rasulullah menatap Abu Bakar penuh keheranan, tak seberapa lama bibir manisnya bergerak
“Mengapa engkau tidak menghindarinya?”
“Saya khawatir membangunkan engkau dari lelap” jawab Abu Bakar sendu. Sebenarnya ia kini menyesal karena tidak dapat menahan air matanya hingga mengenai pipi Rasulullah dan membuatnya terjaga.
Saat itu air mata bukan milik Abu Bakar saja. Selanjutnya mata Al-Musthafa berkabut dan bening air mata tergenang di pelupuknya. Betapa indah sebuah ukhuwah.
“Sungguh bahagia, aku memiliki seorang seperti mu wahai putra Abu Quhafah. Sesungguhnya Allah sebaik-baik pemberi balasan”. Tanpa menunggu waktu, dengan penuh kasih sayang, Al-Musthafa meraih pergelangan kaki yang digigit ular. Dengan mengagungkan nama Allah Pencipta semesta, Nabi mengusap bekas gigitan itu dengan ludahnya. Maha suci Allah, seketika rasa sakit itu tak lagi ada. Abu Bakar segera menarik kakinya karena malu. Nabi masih memandangnya sayang.
“Bagaimana mungkin, mereka para kafir tega menyakiti manusia indah seperti mu.
Bagaimana mungkin?” nyaring hati Abu Bakar kemudian.
Gua Tsur kembali ditelan senyap. Kini giliran Abu Bakar yang beristirahat dan Rasulullah berjaga. Dan, Abu Bakar menggeleng kuat-kuat ketika Rasulullah menawarkan pangkuannya.
Tak akan rela, dirinya membebani pangkuan penuh berkah itu.

***

Kita pasti tahu siapa Abu Bakar. Ia adalah lelaki pertama yang memeluk Islam dan juga salah satu sahabat terdekat Rasulullah. Dari lembar sejarah, kita kenang cinta Abu Bakar kepada Al-Musthafa menyemesta. Kisah tadi terjadi pada saat ia menemani Rasulullah berhijrah menuju Madinah dan harus menginap di Gua Tsur selama tiga malam. Menemani Nabi untuk berhijrah adalah perjalanan penuh rintang. Ia sungguh tahu akibat yang akan digenggamnya jika misi ini gagal. Namun karena cinta yang berkelindan di kedalaman hatinya begitu besar, Abu Bakar dengan sepenuh jiwa, raga dan harta, menemani sang Nabi pergi.
Dia terkenal karena teguh pendirian, berhati lembut, mempunyai iman yang kokoh dan bijaksana. Kekokohan imannya terlihat ketika Madinah kelabu karena satu kabar, Nabi yang Ummi telah kembali kepada Yang Maha Tinggi. Banyak manusia terlunta dan larut dalam lara yang sempurna. Bahkan Umar murka dan tidak mempercayai kenyataan yang ada. Saat itu Abu Bakar tampil mengingatkan seluruh sahabat dan menggaungkan satu khutbah yang mahsyur “Ketahuilah, siapa yang menyembah Muhammad, maka ia telah meninggal dunia. Dan sesiapa yang menyembah Allah, maka sesungguhnya Allah tidak mati”.
Kepergian sang tercinta, tidak menyurutkan keimanan dalam dadanya. Ketiadaan Rasulullah, jua tak memadamkan gebyar semangat untuk terus menegakkan pilar-pilar Islam yang telah dipancangkan. Pada saat menjabat khalifah pertama, ia dengan gigih memerangi mereka yang enggan berzakat. Tidak sampai di situ munculnya beberapa orang yang mengaku sebagi nabi, sang khalifah juga berlaku sama yaitu mengirimkan pasukan untuk mengajak mereka kembali kepada kebenaran. Sesungguhnya pribadi Abu Bakar adalah lemah lembut, namun ketika kemungkaran berada dihadapannya, ia berlaku sangat tegas dalam memberantasnya.
Abu Bakar wafat pada usia 63 tahun, pada saat perang atas bangsa Romawi di Yarmuk berkecamuk dengan kemenangan di tangan Muslim. Sebelum wafat, ia menetapkan Umar sebagai penggantinya. Jenazahnya dikebumikan di sebelah manusia yang paling dicintainya, yaitu makam Rasulullah. Hidup Abu Bakar berhenti sampai di sana, namun selanjutnya manusia yang menurut Rasulullah menjadi salah seorang yang dijamin masuk surga, terus saja mengharumkan sejarah sampai detik sekarang. Ia mencintai Nabinya melebihi dirinya sendiri. Tidakkah itu mempesona?

Rabu, 04 Februari 2009

Gejolak di Balik Bilik

Oleh Anis Matta

Bahkan ketika kamu memiliki semua pesona fisik, jiwa, akal dan ruh, cintamu bukan saja mungkin tertolak dan kamu terluka di bawah hukum keserasaan dan keserasian. Lebih dari itu, kamu juga tidak bebas dari problematika kehidupan cinta dan asmara seperti yang dialami orang-orang biasa.

Dalam terminologi batin kehidupan, sebenarnya kita semua hanya orang-orang biasa, memiliki rasa orang-orang biasa, dan menghadapi persoalan cinta yang juga dialami orang-orang biasa.

Bahkan ketika sang kekasih setara dengan kamu pada pesona fisik, jiwa, akal dan ruhnya, itu juga bukan sebuah sertifikat bebas perkara kehidupan, yang dapat kamu tempel pada dinding kesadaranmu.

Tidak!!! Persoalan hidup adalah jatah setiap manusia, tidak peduli apakah ia orang baik atau bukan. Bahkan sumber persoalan hidup kita seringkali datang dari kebaikan hati kita. Seperti unta yang sabar; orang-orang hanya tahu memikulkan beban ke punggungnya tanpa pernah mendengar keluhannya. Kesabarannya adalah sumber masalahnya.

Yang membedakan mereka adalah bahwa mereka selalu “berada di atas” masalah-masalah mereka. Karena itu mereka selalu mampu “mengatasi” masalah-masalah mereka. Mereka selalu sanggup melampaui lorong gelap pada suatu potongan waktu kehidupan mereka.

Mereka selalu menang. Cerita mereka selalu berakhir bagus; tidak selalu karena endingnya penuh bunga dan senyum, kadang-kadang justru karena keputusan pahit yang mengharu-biru sebab ia lahir dari cinta yang ksatria.

Seperti ketika istri-istri Rasuiullah saw meminta tambahan perhiasan dunia. Apa yang salah dengan tuntutan itu? Itu datang dari istri-istri yang shalihah kepada seorang suami yang shalih. Itu bukan barang haram.

Tapi tuntutan itu berat bagi sang Rasul; bagaimana mungkin ia kembali kepada persoalan kecil seperti ini ketika ia sedang dalam perjalanan untuk melakukan sentuhan akhir dalam penyelesaian misi kenabiannya? Itu mengganggu dan menyedot perhatiannya justru ketika ia sedang membutuhkan konsentrasi penuh untuk menyelesaikan tugas akhirnya. Itu menyebabkan beliau “mendiamkan” mereka selama sebulan. Bahkan beliau menyendiri dan tidak ingin ditemui oleh sahabat-sahabat beliau.

Contoh itu mungkin terasa terlalu sophisticated. Mari kita ambil contoh lain. Suatu saat beliau berada di rumah Aisyah. Kemudian Saudah datang menemui beliau. Aisyah pun menawarkan kue yang baru saja dibuatnya. Tapi Saudah mengatakan, kue itu tidak enak. Aisyah tentu saja tersinggung. la pun menimpuk Saudah dengan kue itu. Dan Saudah membalasnya. Timpuk-menimpuk itu berlangsung sementara sang suami menyaksikannya sembari tertawa terbahak-bahak.

Oh, persoalan memang datang. Tapi selalu berialu. Di balik bilik sederhana itu ada banyak gejolak. Tapi keteduhan selalu mengakhirinya.

Romantika Pasangan Jiwa

Oleh Anis Matta

Orang-orang di negerinya, di Mesir sana, menganggapnya pahlawan cinta. Mereka menyebutnya sebagai kampiun asmara.

Dody Al Fayed dan Lady Diana adalah sebuah roman yang tragis. Dua jiwa bertemu. Tapi tanpa raga. Mereka tidak ditakdirkan bersatu.

Tapi Lady Diana dan pangeran Charles adalah juga roman yang tragis. Dua raga bertemu. Tapi tanpa jiwa. Mereka pernah ditakdirkan bersatu. Tapi tidak ditakdirkan untuk saling mencintai.

Tragis. Terlalu tragis. Dua setengah milyar umat manusia yang ikut menyaksikan proses pemakaman Lady Diana dan Dody hanya mampu menangis. Menyatakan haru entah kepada siapa: sebab di alam jiwa mereka semua nestapa.

Tapi cerita Charles dengan Camilla Parker yang entah menjadi pemicu keretakan rumah tangganya atau tidak, menyelipkan sebuah pertanyaan besar: mengapa sang pangeran lebih tertarik dengan perempuan tua itu ketimbang Diana yang cantik dan anggun, Diana? Bahkan ketika Camila menjadi musuh bersama rakyat Inggris, Charles tetap menikahinya beberapa tahun kemudian? Seperti sebuah kehendak yang dipaksakan walaupun harus melawan arus. Tidak berartikah kecantikan Diana baginya? Dan apakah pesona perempuan tua yang membuatnya nekat itu?

Charles adalah sebuah cerita tentang kesepian. Punya ibu seorang ratu hampir sama dengan menjadi yatim. Maka Charles tumbuh dengan sebuah kebutuhan jiwa yang akut: seseorang yang bisa diajak bicara, mau mendengarnya dan mampu memahaminya, seseorang yang bisa membuatnya merasa sebagai orang normal yang bersikap wajar dalam kehidupannya. Camilla hadir dan bisa memenuhi kebutuhan jiwa itu. Sementara Diana tumbuh sebagai gadis cantik yang terlalu lugu untuk kerumitan-kerumitan besar yang dihadapi Cahrles. Ia bagus sebagai icon kerajaan yang cantik. Tapi tidak bagi Charles yang rumit. Jiwa mereka tidak bertemu ketika raga mereka justru seranjang.

Tim kehidupan pada intinya adalah ide tentang pasangan jiwa dalam katagori cinta jiwa. Bukan terutama tentang poligami. Ini ide tentang pertemuan jiwa yang disebabkan oleh kesamaan, atau kesepadanan, atau keseimbangan, atau kelengkapan. Jiwa-jiwa yang saling bertemu itu bisa dua atau tiga atau empat dan seterusnya. Sama persis dalam semua bentuk tim dalam sebuah organisasi.

Tim itu juga bisa besar pada mulanya lalu menciut pada akhirnya. Umar bin Khattab, misalnya, menceraikan dua istrinya yang sangat cantik, Jamilah dan Qaribah. Tapi bisa bertahan hidup bersama Ummu Kaltsum binti AN atau cucu Rasulullah saw yang usianya terpaut lebih 40 tahun.

Itu sebabnya cinta jiwa merupakan sumber semua cerita roman percintaan dalam sejarah umat manusia. Baik yang berujung tragis maupun yang berakhir bahagia. Jiwa mempunyai hajatnya sendiri. Maka ia lebih bisa mengenal pasangannya sendiri. Juga bergerak dengan caranya sendiri menuju pasangannya.

Di alam jiwa, terlalu banyak kaidah dan kebiasaan alam raga yang tidak berlaku. Itu membuatnya rumit. Tapi agung. Rumit jalan ceritanya. Tapi agung suasananya. Rumit untuk dicerna. Tapi agung untuk dirasakan. Maka romantika cinta pasangan jiwa selalu begitu: bauran yang kompleks antara kerumitan dan keagungan.

Selasa, 03 Februari 2009

Orang-orang Romantis

Oleh Anis Matta

Qais sebenarnya tidak harus bunuh diri. Hidup tetap bisa dilanjutkan tanpa Layla. Tapi itulah masalahnya. Ia tidak sanggup. Ia menyerah. Hidup tidak lagi berarti baginya tanpa Layla.

Ia memang tidak minum racun. Atau gantung diri. Atau memutus urat nadinya. Tapi la membiarkan dirinya tenggelam dalam duka sampai nafas terakhir. Tidak bunuh diri. Tapi jalannya seperti itu.

Orang-orang romantis selalu begitu: rapuh. Bukan karena romantisme mengharuskan mereka rapuh. Tapi di dalam jiwa mereka ada bias besar.

Mereka punya jiwa yang halus. Tapi kehalusan itu berbaur dengan kelemahan. Dan itu bukan kombinasi yang bagus. Sebab batasnya jadi kabur: kehailusan dan kelemahan jadi tampak sama.

Qais lelaki yang halus. Sekaligus lemah.

Kombinasi begini membuat banyak orang-orang romantis jadi sangat rapuh. Apalagi saat-saat menghadapi badai kehidupan. Misalnya ketika mereka harus berpisah untuk sebuah pertempuran.

Maka cinta dan perang selalu hadir sebagai momen paling melankolik bagi orang-orang romantis Mengerikan. Tapi tak terhindarkan. Berdarah-darah. Tapi tak terelakkan. Itu dunia orang-orang jahat. Dan orang-orang romantis hanya datang ke sana sebagai korban.

Begitu ruang kehidupan direduksi hanya ke dalam kehidupan mereka berdua dunia tampak sangat buruk dengan perang. Tapi kehidupan punya jalannya sendiri. Ada kaidah yang mengaturnya. Dan perang adalah niscaya dalam aturan itu.

Maka terbentanglah medan konflik yang rumit dalam batin mereka. Dan orang-orang romantis yang rapuh itu seialu kalah. Itu sebabnya Allah mengancam orang-orang beriman: kalau mereka mencintai istri-istri mereka lebih dari cinta mereka pada jihad, maka Allah pasti punya urusan dengan mereka.

Tapi inilah persoalan inti dalam ruang cinta jiwa. Jika cinta jiwa ini berdiri sendiri, dilepas sama sekali dari misi yang lebih besar, maka jalannya memang biasanya ke sana: romantisme biasanya mengharuskan mereka mereduksi kehidupan hanya ke dalam ruang kehidupan mereka berdua saja, karena di sana dunia seluruhnya hanya damai, di sana mereka bisa menyembunyikan kerapuhan atas nama kehalusan dan kelembutan jiwa.

Itu sebabnya cinta jiwa selalu membutuhkan pelurusan dan pemaknaan dengan menyatukannya bersama cinta misi. Dari situ cinta jiwa menemukan keterarahan dan juga sumber energi. Dan hanya itu yang memungkinkan romantisme dikombinasi dengan kekuatan jiwa. Maka orang-orang romantis itu tetap dalam kehalusan jiwanya sebagai pencinta, tapi dengan kekuatan jiwa yang tidak memungkinkan mereka jadi korban karena rapuh.

Ketika kabar syahidnya syekh Abdullah Azzam disampaikan kepada istri beliau, janda itu hanya menjawab enteng, “Alhamdulillab, sekarang dia mungkin sudah bersenang-senang dengan para bidadari.”

Mengikat Jiwa dengan Misi

Oleh Anis Matta

Genap tiga hari sudah ia menghilang. Genap juga tiga kali sang guru bertanya tentang keberadaan muridnya. Tidak hadir di halaqah ilmu bukan kebiasaannya. Apalagi tanpa pemberitahuan.

Ia salah satu yang paling rajin di antara semua muridnya. Tapi pada hari keempat akhirnya sang murid muncul juga. Tapi dengan wajah yang menyimpan banyak sedih. Dan pilu.

“Ke mana saja kamu selama tiga hari ini?” tanya sang guru.

“Aku sedang berduka, ya syaekhana (tuan kami). Istriku baru saja wafat tiga hari lalu,” jawabnya sedih.

“Oh, kalau begitu aku turut berduka. Semoga Allah memasukkannya ke dalam surga-Nya dan memberimu ketabahan.”

Tapi kemudian sang guru tiba-tiba bertanya lagi, “Apakah kamu sudah menikah lagi?”

Tentu saja ia kaget. Tapi ia menjawab juga. “Tentu saja belum, ya syaekhana”.

“Apakah kamu ingin menikah lagi?” tanya sang guru lagi.

“Tentu saja mau, ya syaekhana,” jawabnya pasti.

“Bagaimana kalau kunikahkan kamu dengan puteriku?”.

Pertanyaan ini membuat sang murid berpikir bahwa gurunya hanya sedang menghiburnya. Maka ia menjawab sekenanya: “Tentu saja aku terima nikah puterimu, ya syaekhana.”

Sang murid kembali ke biliknya tanpa beban. Tanpa ingatan apa-apa atas dialog tadi.

Tapi di malam hari tiba-tiba pintunya diketuk. Ketika ia membukanya ia mendapati sang guru berdiri di depan pintu.

“Ini istrimu ku antar padamu, karena kamu tidak datang menjemputnya sore tadi,” kata sang guru enteng.

Sang murid tergagap. Ini nyata atau mimpi? Sekelebat saja dan sang guru telah menghilang. Dan hadirlah di hadapannya seorang gadis berwajah cantik bagai rembulan. Matanya bersinar terang. Lugu dan tanpa dosa. Ia pasti tidak tahu siasat laki-laki. Tapi jidatnya memancarkan kecerdasan yang menyala-nyala.

Dan sang murid masih saja tergagap di antara percaya dan tidak percaya. Ia makin malu ketika ia menyadari bahwa di rumahnya hanya ada sepotong roti dan secangkir air putih. Bukan. Ia malah sedikit minder. Makanya ia segera menyatakan permohonan maaf kepada puteri gurunya yang sekarang telah menjadi istrinya.

Tapi gadis itu seketika marah dan berkata, “Celakahlah ayahku, Said Ibnul Musayyab, mengapa ia menikahkan aku dengan seorang laki-laki yang imannya lemah begini? Dia masih punya sepotong roti dan segelas air tapi merasa tidak punya apa-apa!”

Begitulah kejutan cinta datang mengisi potongan kedua hidupnya. Tapi riwayatnya belum berakhir di situ.

Malam pertama itu berlangsung indah. Seindah semua malam pertama para pengantin.

Keesokan harinya sang murid membenahi buku catatan untuk berangkat beiajar. Tapi ia dicegat sang istri, “Bukankah kamu belajar dalam fiqh bahwa hak seorang perawan adalah tujuh hari tidak boieh ditinggal?”

Sang murid termangu. “Kamu benar,” hanya itu yang bisa dikatakannya.

Maka ia pun menghilang tujuh hari dari halaqah ilmu sang guru untuk memenuhi hak sang perawan.

Pada hari ke delapan ia berkemas lagi untuk pergi ke halaqah ilmu sang guru. Tapi ia dicegat lagi sang istri dengan sebuah pertanyaan, “Kamu belajar apa sama ayahku, Said Ibnul Musayyab?”

Sang murid tidak mengerti arah pertanyaan ini. Ia pun menjawab, “Aku belajar semua ilmu. Ada tafsir, hadits, fiqh, sejarah dan semua ilmu tentang agama ini.”

Lalu sang gadis menjawab penuh percaya diri, “Duduklah di sini. Belajarlah padaku. Karena semua yang ada di kepala Said juga ada di kepalaku”.

Perempuan itu agaknya mewakili kezuhudan kakeknya, Abu Hurairah, dan ilmu ayahnya, Said Ibnul Musayyab. Tapi kepada para pencinta sejati ia menyampaikan pesan ini: “bahwa orang-orang romantis hanya menjadi mungkin kuat ketika romantika mereka diikat oleh misi kehidupan yang luhur.”

Semangat Penumbuhan

Oleh Anis Matta

Pekerjaan kedua seorang pencinta sejati, setelah memperhatikan, adalah penumbuhan. Inilah cintanya cinta. Inilah rahasia besar yang menjelaskan bagaimana cinta bekerja mengubah kehidupan kita dan membuatnya menjadi lebih baik, lebih bermakna.

Cinta adalah gagasan dan komitmen jiwa tentang bagaimana membuat kehidupan orang yang kita cintai menjadi lebih baik. Jika perhatian memberikan pemahaman mendalam tentang sang kekasih, maka penumbuhan berarti melakukan tindakan-tindakan nyata untuk membantu sang kekasih bertumbuh dan berkembang menjadi lebih baik.

Kita tidak boleh berhenti diujung perhatian sembari mengatakan kepada sang kekasih: "Aku mencintaimu sebagaimana kamu adanya." Atau: "Aku menerima dirimu apa adanya." Memahami dan mengerti sang kekasih tidaklah cukup. Seorang pencinta sejati harus mampu mengimajinasikan sebuah plot akhir dari kehidupan yang dijalani sang kekasih. Itu tidak berarti bahwa kita mengintervensi kehidupannya secara rigid atas nama cinta. Tidak! yang dilakukan seorang pencinta sejati adalah menginspirasi sang kekasih untuk meraih kehidupan paling bermutu yang mungkin ia raih berdasarkan keseluruhan potensi yang ia miliki.

Kalau bukan karena kerja-kerja penumbuhan, seorang pencinta sejati tidak akan sanggup bertahan hidup disamping seorang kekasih yang ilmu, pengalaman, keterampilan, dan kepribadiannya, tidak bertumbuh dalam 10 tahun perkawinannya, misalnya. Kamu pasti bosan mengobrol dengan seorang yang hidupnya stagnan, dingin dan tidak dinamis. Para pencinta sejati menemukan gairah kehidupan dari perubahan-perubahan dinamis dalam kehidupan kekasih mereka. Seperti gairah kehidupan yang dirasakan seorang ibu ketika ia menyaksikan bayinya tumbuh dan berkembang menjadi anak remaja lalu dewasa. Atau gairah yang dirasakan seorang guru saat menyaksikan muridnya tumbuh menjadi ilmuwan dan intelektual.

Penumbuhanlah yang membedakan cinta yang matang dengan cinta seorang melankolik. Penumbuhan memberikan sentuhan edukasi pada hubungan cinta. Sebab di sini cinta bukan sekedar gumpalan emosi di langit jiwa: yang mungkin meledak bagai halilintar, atau membanjiri bumi dengan hujan air mata, pikiran dan fisik sekaligus. Itu yang membuatnya nyata. Dan efektif.

Di tangan Rasulullah saw Aisyah bukan hanya seorang istri. Rasulullah saw telah menumbuhkannya menjadi bintang di langit sejarah. Suatu saat Ali Tanthowi mengatakan: "Istriku yang tamatan SD ternyata lebih intelek daripada mahasiswi-mahasiswiku yang hampir sarjana." Beliau mengatakan itu setelah melewati 10 tahun masa perkawinan. Ketika Iqbal menemukan dirinya telah menjadi filosof dunia, ia menyadari itu kerja sang guru. Maka ia berkata tentang gurunya itu: "Dan nafas cintanya meniup keuncupku jadi bunga."

Cinta Maslahat

Oleh Anis Matta

Ini jenis cinta ketiga: cinta maslahat. Cinta ini lahir dari dan karena dan untuk maslahat.

Kita mencintai sesuatu atau seseorang atau sebuah pekerjaan karena ada maslahatyang kita peroteh di balik itu. Jadi maslahat adalah alasannya.Maslahat itu bisa terbatas dalam skala pribadi bisa juga meluas dalam skala kelompok atau bangsa atau bahkan dunia.

Dalam skala pribadi misalnya cinta hobi. Para pembalap atau pemburu menanggung resiko besar dari aktivitas mereka. Tapi mereka melakukannya karena hobi: maslahat mereka adalah kenyamanan karena kepuasan psikologis.

Dalam skala kelompok misalnya cinta para pengusaha kepada pelanggan mereka. Mereka mengeluarkan uang besar untuk melakukan survey tentang kebutuhan pelanggan mereka. Lalu membangun sistem dan tradisi pelayanan yang baik untuk memuaskan pelanggan mereka: karena di balik itu ada untung besar.

Dalam skala bangsa misalnya adalah apa yang dilakukan para politisi untuk mendapatkan dukungan suara rakyat dalam pemilu. Mereka mungkin tidak didorong oleh misi suci ibadah untuk memperbaiki keadaan rakyat mereka. Tapi mereka tetap harus melakukan sesuatu untuk mendapatkan simpati mereka: kelanjutan karir mereka ada pada dukungan suara mereka.

Dalam skala dunia misalnya gerakan cinta lingkungan yang muncul setelah perang dan industri mengancam keselamatan lingkungan global.

Dalam lingkungan pergaulan sehari-hari, kadang-kadang kita harus “berbuat baik” pada seseorang atau sekelompok orang. Bukan karena kita mencintai orang atau kelompok tersebut. Tapi dengan berbuat baik pada mereka kita melindungi diri kita dari potensi kejahatan mereka. Ini juga cinta maslahat.

Dulu Umar Bin Khattab memberikan sepuluh ribu dirham kepada seorang penyair. Untuk apa? Agar dia tidak membuat syair-syair hinaan kepada siapa saja yang bisa mempengaruhi ketenangan masyarakat. Karena syair punya pengaruh besar dalam masyarakat Arab. Katakanlah seperti pengaruh media dalam masyarakat kita saat ini.

Menghindari kejahatan seseorang dengan berbaik-baik pada mereka adalah cinta maslahat. Bukan cinta misi. Bukan juga cinta jiwa. Pendorongnya bukan dari dalam jiwa. Tapi dari luar.

Hanya berguna untuk keseluruhan eksistensi jiwa dan proses pencapaian misi kita. Kecuali dalam kasus cinta hobi, cinta maslahat umumnya adalah buah dari akal sehat atau hasrat pemuasan jiwa. Akal sehat selalu lahir dari fitrah kemanusiaan yang lurus. Maka buahnya pun begitu: selalu berguna bagi maslahat kemanusiaan.

Merawat Dengan Kebajikan

Oleh Anis Matta

Hubungan cinta yang mendalam dan mampu menembus lorong waktu yang panjang hanya mungkin terjadi jika orang-orang yang saling mencintai mengalami perbaikan berkesinambungan. Mereka terus bertumbuh. Itu dinamika kehidupan yang niscaya diperlukan untuk memberikan sentuhan gairah pada cinta.

Tapi pertumbuhan tidak akan terjadi permanen tanpa perawatan yang permanen pula. Kalau pertumbuhan dilakukan dengan memfasilitasi proses pembelajaran orang yang kita cintai, maka perawatan dilakukan dengan memberikan sentuhan lembut kebijakan pada sang kekasih. Sang kekasih yang sedang bertumbuh itu harus dipuaskan dengan kebajikan harian yang membuatnya nyaman. Kalau perawatan memberinya kekuatan psikologis dalam menjalani dinamika pertumbuhan itu.

Senyum yang lembut, kata-kata yang baik, belaian kasih, saat-saat melayani, hadiah-hadiah kecil, hubungan fisik yang intim dan intensif, perjalanan bersama yang harus dilakukan para pencinta kepada kekasihnya untuk satu tujuan: merawat jiwanya. Itulah air. Itulah matahari.

Di taman kebajikan itu cinta bersemi. Hanya di taman itu. Kamu tidak bisa mencintai hanya dengan kata-kata. Sentuhan romantika dari kata-kata hanya sebagian dari kebajikan hati para pencinta sejati. Sebab kata-kata, sama seperti senyuman atau sorotan mata, jika ia terbit dari hati yang bajik, maka ia kehilangan elegannya. Ia tidak akan pernah menggetarkan. Adakah yang lebih mempesona dari seorang kekasih selain semua yang menggetarkan itu?

Kalau pelaku sehari-harimu tidak lagi menggetarkan jiwa kekasihmu, kemungkinan besar karena ia terpisah dari jiwamu. Atau di sana cinta tidak lagi sanggup menerbitkan kebajikan baru dalam dirimu.

Ini juga menjelaskan mengapa keshalihan selalu bersaudara dengan cinta. Keshalihan adalah kekuatan yang memotivasi dan menginspirasi kita untuk melakukan kebajikan secara terus-menerus. Orang shalih selalu berada di garis kebajikan maksimum dan minimum: jika ia mencintai seseorang ia menghormati dan melayani orang itu. Tapi jika ia tidak mencintainya ia tidak akan sampai menzalimi orang itu.

Tantangan cinta yang paling rumit adalah waktu. Dalam perjalanan waktu, kesejatian cinta teruji. Dan, ujiannya adalah menjawab pertanyaan sesederhana ini: seberapa besar kadar kebajikan yang terkandung dalam cinta itu? Alam tamsil ini cinta adalah kereta: ia hanya berjalan di atas rel kebajikan. Begitu kebajikanmu habis, kereta cinta juga berhenti berjalan. Hanya ketika kamu menjadi orang baik, kamu dapat mencintai dengan kuat. Kalau ujian cinta adalah waktu, maka jawabannya adalah kepribadian.