Selasa, 03 Februari 2009

Mengikat Jiwa dengan Misi

Oleh Anis Matta

Genap tiga hari sudah ia menghilang. Genap juga tiga kali sang guru bertanya tentang keberadaan muridnya. Tidak hadir di halaqah ilmu bukan kebiasaannya. Apalagi tanpa pemberitahuan.

Ia salah satu yang paling rajin di antara semua muridnya. Tapi pada hari keempat akhirnya sang murid muncul juga. Tapi dengan wajah yang menyimpan banyak sedih. Dan pilu.

“Ke mana saja kamu selama tiga hari ini?” tanya sang guru.

“Aku sedang berduka, ya syaekhana (tuan kami). Istriku baru saja wafat tiga hari lalu,” jawabnya sedih.

“Oh, kalau begitu aku turut berduka. Semoga Allah memasukkannya ke dalam surga-Nya dan memberimu ketabahan.”

Tapi kemudian sang guru tiba-tiba bertanya lagi, “Apakah kamu sudah menikah lagi?”

Tentu saja ia kaget. Tapi ia menjawab juga. “Tentu saja belum, ya syaekhana”.

“Apakah kamu ingin menikah lagi?” tanya sang guru lagi.

“Tentu saja mau, ya syaekhana,” jawabnya pasti.

“Bagaimana kalau kunikahkan kamu dengan puteriku?”.

Pertanyaan ini membuat sang murid berpikir bahwa gurunya hanya sedang menghiburnya. Maka ia menjawab sekenanya: “Tentu saja aku terima nikah puterimu, ya syaekhana.”

Sang murid kembali ke biliknya tanpa beban. Tanpa ingatan apa-apa atas dialog tadi.

Tapi di malam hari tiba-tiba pintunya diketuk. Ketika ia membukanya ia mendapati sang guru berdiri di depan pintu.

“Ini istrimu ku antar padamu, karena kamu tidak datang menjemputnya sore tadi,” kata sang guru enteng.

Sang murid tergagap. Ini nyata atau mimpi? Sekelebat saja dan sang guru telah menghilang. Dan hadirlah di hadapannya seorang gadis berwajah cantik bagai rembulan. Matanya bersinar terang. Lugu dan tanpa dosa. Ia pasti tidak tahu siasat laki-laki. Tapi jidatnya memancarkan kecerdasan yang menyala-nyala.

Dan sang murid masih saja tergagap di antara percaya dan tidak percaya. Ia makin malu ketika ia menyadari bahwa di rumahnya hanya ada sepotong roti dan secangkir air putih. Bukan. Ia malah sedikit minder. Makanya ia segera menyatakan permohonan maaf kepada puteri gurunya yang sekarang telah menjadi istrinya.

Tapi gadis itu seketika marah dan berkata, “Celakahlah ayahku, Said Ibnul Musayyab, mengapa ia menikahkan aku dengan seorang laki-laki yang imannya lemah begini? Dia masih punya sepotong roti dan segelas air tapi merasa tidak punya apa-apa!”

Begitulah kejutan cinta datang mengisi potongan kedua hidupnya. Tapi riwayatnya belum berakhir di situ.

Malam pertama itu berlangsung indah. Seindah semua malam pertama para pengantin.

Keesokan harinya sang murid membenahi buku catatan untuk berangkat beiajar. Tapi ia dicegat sang istri, “Bukankah kamu belajar dalam fiqh bahwa hak seorang perawan adalah tujuh hari tidak boieh ditinggal?”

Sang murid termangu. “Kamu benar,” hanya itu yang bisa dikatakannya.

Maka ia pun menghilang tujuh hari dari halaqah ilmu sang guru untuk memenuhi hak sang perawan.

Pada hari ke delapan ia berkemas lagi untuk pergi ke halaqah ilmu sang guru. Tapi ia dicegat lagi sang istri dengan sebuah pertanyaan, “Kamu belajar apa sama ayahku, Said Ibnul Musayyab?”

Sang murid tidak mengerti arah pertanyaan ini. Ia pun menjawab, “Aku belajar semua ilmu. Ada tafsir, hadits, fiqh, sejarah dan semua ilmu tentang agama ini.”

Lalu sang gadis menjawab penuh percaya diri, “Duduklah di sini. Belajarlah padaku. Karena semua yang ada di kepala Said juga ada di kepalaku”.

Perempuan itu agaknya mewakili kezuhudan kakeknya, Abu Hurairah, dan ilmu ayahnya, Said Ibnul Musayyab. Tapi kepada para pencinta sejati ia menyampaikan pesan ini: “bahwa orang-orang romantis hanya menjadi mungkin kuat ketika romantika mereka diikat oleh misi kehidupan yang luhur.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar