Senin, 03 Agustus 2009

KRISIS UMAT DAN CELAH PEMBEBASAN

Apakah yang dilakukan sebuah ummat, ketika krisis menjadi hantu besar yang
melingkupi semua sisi kebaikannya? Apakah yang mungkin dilakukan sebuah ummat,
ketika sejarah menjadi begitu pelit untuk membuka pintu-pintu rumahnya, bagi umat itu
untuk berteduh dari keterhimpitan yang menyengat tubuhnya? Apakah yang mungkin
dilakukan sebuah ummat, ketika semua umat memusuhinya, dan apa yang ada hanya
dirinya, sementara realitas dirinya sendiri justru menjadi anak panah di busur
musuhnya?
Pertanyaan seperti ini seringkali hinggap dalam benak kita, para du’at dan
Mushlihin. Dalam keadaan tanpa jawaban, sering pula kita kehilangan kesesimbangan jiwa, sesuatu yang kemudian menimbulkan rasa tidak berdaya (al’-ajz) dan merasa
seakan realita dan tantangan lebih besar dari kapasitas internal kita menjawabnya,
apalagi menyelesaikannya. Yang lebih parah lagi, rasa tidak berdaya itu kadang sampai
begitu kuat, sehingga tanpa sadar kita bersikap negatif terhadap problema yang
melingkupi kita, untuk kemudian mencoba melakukan langkah ‘pengunduran diri’ dari
gelanggang kehidupan sosial (al-insihab al-ijtima’i). Terkadang pengunduran diri ini
disertai sejumlah pembenaran rasional, setelah rasa tidak berdaya itu mendorong kita
mempertanyakan beberapa aksioma ideologi dan prinsip perjuangan, yang mungkin
dianggap terlalu ideal dan tidak mungkin dipertemukan dengan realita? Beginilah
misalnya, kekalahan-kekalahan politik mendorong Nurcholish untuk menelorkan ide
‘Islam Yes, Partai Islam No’ pada tahun 1970-an.
Sesungguhnya itu tidak perlu terjadi, kalau saja kita mau merenungi kembali,
bagaimana Allah SWT dalam Al Qur’an telah membuka begitu banyak celah
pembebasan yang dibuka Allah SWT kepada kita, saat semua jalan masuk ke rumah
sejarah telah tertutup.
Pertama, harapan. Harapan adalah matahari di langit jiwa. Tak ada sesuatu yang
sangat kita butuhkan saat reruntuhan kekalahan menghimpit jiwa kita, selain harapan
yang dapat mengembalikan rasa percaya diri kita untuk bangkit kembali. Begitulah Allah
SWT mengembalikan harapan itu ke dalam jiwa sahabat-sahabat Rasulullah SAW,
setelah kekalahan pada perang Uhud.
Allah SWT berfirman,
“Dan janganlah kamu merasa hina dan bersedih, sebab kamulah yang lebih
tinggi (unggul) jika kamu beriman. Jika kamu tersentuh luka (musibah), maka luka
(musibah) yang sama juga menimpa kaum yang lain. Dan begitulah hari-hari
(kemenangan) kami pergilirkan diantara manusia.” (QS. Ali Imran : 140)
Dalam keadaan selemah apapun juga, ketika kita mendengar pernyataan sakral
seperti itu, pasti ia akan mengembalikan kekuatan jiwa kita untuk melakukan lompatan
ulang dalam sejarah. Pada ayat diatas, Allah SWT tidak sekedar memberi harapan, tapi
juga menambah kekuatan harapan itu dengan membuka celah sejarah melalaui hokum
‘siklus menang-kalah’ dalam sejarah peradaban manusia sepanjang zaman.
Bahwa kekalahan dalam hukum itu, tidak boleh menjadi titik awal menuju
kepunahan historis. Selalu ada kesempatan untuk memperbaiki kesalahan pada
lompatan awal, kedua, atau ketiga, dalam perjalanan sejarah. Watak sejarah, dengan
begitu tidaklah niscaya (deter-minant), sebagaimana manusia yang tumbuh dari kecil, besar, tua, lalu mati. Sunnatut tadawul (hukum perputaran) itu memungkinkan ketuaan
untuk sebuah peradaban dijungkirbalik menjadi kemudaan, sekaligus menghentikan,
secara tiba-tiba, arus realitas ketuaan berjalan menuju muara kematian historis.
Kedua, taghyirul dzat (merubah diri). Bila celah sejarah pertama tadi meupakan
celah ekstrem, maka celah sejarah kedua ini merupakan celah interen. Ada syarat-
syarat internal yang harus dipenuhi untuk dapat memanfaatkan peluang historis
tersebut. Yaitu merubah seluruh instrument kepribadian kita, mulai dari bagian terkecil,
diri, hingga bagian terbesar, masyarakat. Pada diri pun dimulai dari instrument yang
paling halus; hati, perasaan, emosi, akal hingga raga.
Allah SWT berfirman,
“Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaaan suatu kaum, kecuali bila
kaum itu yang merubah apa-apa yang ada dalam dirinya.” (Q.S. Ar-Ra’du, 14-11).
Sesungguhnya pada dua celah sejarah ini, tersimpan kunci dinamika gerak
sejarah kehidupan manusia, yang tak pernah mati hingga kiamat. Ini adalah
‘kemungkinan-kemungkinan’ yang dijadikan Allah SWT sebagai peluang bagi kita untuk
hadir kembali di gelanggang sejarah. Masalahnya, maukah kita memanfaatkan peluang
itu?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar