Rabu, 11 Februari 2009

Cinta Abu Bakar untuk Al-Musthafa

Ketika Rasulullah berada di hadapan,
Ku pandangi pesonanya dari kaki hingga ujung kepala
Tahukah kalian apa yang terjelma?
Cinta!
(Abu Bakar Shiddiq r.a)


Wajah Abu Bakar pucat pasi. Langkah kaki para pemuda Quraisy tidak lagi terdengar samar. Tak terasa tubuhnya bergetar hebat, betapa tidak, dari celah gua ia mampu melihat para pemburu itu berada di atas kepalanya. Setengah berbisik berkatalah Abu Bakar.
“Wahai Rasul Allah, jika mereka melihat ke kaki-kaki mereka, sesungguhnya mereka pasti melihat kita berdua”. Rasulullah memandang Abu Bakar penuh makna. Ditepuknya punggung sahabat dekatnya ini pelan sambil berujar “Janganlah engkau kira, kita hanya berdua. Sesungguhnya kita bertiga, dan yang ketiga adalah Dia, yang menggenggam kekuasaan maha, Allah”.
Sejenak ketenangan menyapa Abu Bakar. Sama sekali ia tidak mengkhawatirkan keselamatannya. Kematian baginya bukan apa-apa, ia hanya lelaki biasa. Sedang, untuk lelaki tampan yang kini dekat di sampingnya, keselamatan di atas mati dan hidupnya. Bagaimana semesta jadinya tanpa penerang. Bagaimana Madinah jika harus kehilangan purnama.
Bagaimana dunia tanpa benderang penyampai wahyu. Sungguh, ia tak gentar dengan tajam
mata pedang para pemuda Quraisy, yang akan merobek lambung serta menumpahkan darahnya. Sungguh, ia tidak khawatir runcing anak panah yang akan menghunjam setiap jengkal tubuhnya. Ia hanya takut, Muhammad, ya Muhammad.. mereka membunuh Muhammad.

***

Berdua mereka berhadapan, dan mereka sepakat untuk bergantian berjaga. Dan keakraban
mempesona itu bukan sebuah kebohongan. Abu Bakar memandang wajah syahdu di depannya dalam hening. Setiap guratan di wajah indah itu ia perhatikan seksama. Aduhai betapa ia mencintai putra Abdullah. Kelelahan yang mendera setelah berperjalanan jauh, seketika seperti ditelan kegelapan gua. Wajah di depannya yang saat itu berada nyata, meleburkan penat yang ia rasa. Hanya ada satu nama yang berdebur dalam dadanya. Cinta.
Sejeda kemudian, Muhammad melabuhkan kepalanya di pangkuan Abu Bakar. Dan seperti anak kecil, Abu Bakar berenang dalam samudera kegembiraan yang sempurna. Tak ada yang
dapat memesonakannya selama hidup kecuali saat kepala Nabi yang ummi berbantalkan
kedua pahanya. Mata Rasulullah terpejam. Dengan hati-hati, seperti seorang ibu, telapak tangan Abu Bakar, mengusap peluh di kening Rasulullah. Masih dalam senyap, Abu Bakar terus terpesona dengan sosok cinta yang tengah beristirahat diam di pangkuannya. Sebuah asa mengalun dalam hatinya “Allah, betapa ingin hamba menikmati ini selamanya”.
Nafas harum itu terhembus satu-satu, menyapa wajah Abu Bakar yang sangat dekat. Abu
Bakar tersenyum, sepenuh kalbu ia menatapnya lagi. Tak jenuh, tak bosan. Dan seketika
wajahnya muram. Ia teringat perlakuan orang-orang Quraisy yang memburu Purnama Madinah seperti memburu hewan buruan. Bagaimana mungkin mereka begitu keji mengganggu cucu Abdul Muthalib, yang begitu santun dan amanah. Mendung di wajah Abu bakar belum juga surut. Sebuah kuntum azzam memekar di kedalaman hatinya, begitu semerbak. “Selama hayat berada dalam raga, aku Abu Bakar, akan selalu berada di sampingmu, untuk membelamu dan tak akan membiarkan sesiapapun menganggumu”.
Sunyi tetap terasa. Gua itu begitu dingin dan remang-remang. Abu Bakar menyandarkan
punggung di dinding gua. Rasulullah, masih saja mengalun dalam istirahatnya. Dan tiba-tiba saja, seekor ular mendesis-desis perlahan mendatangi kaki Abu Bakar yang terlentang. Abu Bakar menatapnya waspada, ingin sekali ia menarik kedua kakinya untuk menjauh dari hewan berbisa ini. Namun, keinginan itu dienyahkannya dari benak, tak ingin ia mengganggu tidur nyaman Rasulullah. Bagaimana mungkin, ia tega membangunkan kekasih itu.
Abu Bakar meringis, ketika ular itu menggigit pergelangan kakinya, tapi kakinya tetap saja tak bergerak sedikitpun. Dan ular itu pergi setelah beberapa lama. Dalam hening, sekujur tubuhnya terasa panas. Bisa ular segera menjalar cepat. Abu Bakar menangis diam-diam.
Rasa sakit itu tak dapat ditahan lagi. Tanpa sengaja, air matanya menetes mengenai pipi Rasulullah yang tengah berbaring. Abu Bakar menghentikan tangisannya, kekhawatirannya terbukti, Rasulullah terjaga dan menatapnya penuh rasa ingin tahu.
“Wahai hamba Allah, apakah engkau menangis karena menyesal mengikuti perjalanan ini”
suara Rasulullah memenuhi udara Gua.
“Tentu saja tidak, saya ridha dan ikhlas mengikutimu kemana pun” potong Abu Bakar masih dalam kesakitan.
“Lalu mengapakah, engkau meluruhkan air mata?”
“Seekor ular, baru saja menggigit saya, wahai putra Abdullah, dan bisanya menjalar begitu cepat”
Rasulullah menatap Abu Bakar penuh keheranan, tak seberapa lama bibir manisnya bergerak
“Mengapa engkau tidak menghindarinya?”
“Saya khawatir membangunkan engkau dari lelap” jawab Abu Bakar sendu. Sebenarnya ia kini menyesal karena tidak dapat menahan air matanya hingga mengenai pipi Rasulullah dan membuatnya terjaga.
Saat itu air mata bukan milik Abu Bakar saja. Selanjutnya mata Al-Musthafa berkabut dan bening air mata tergenang di pelupuknya. Betapa indah sebuah ukhuwah.
“Sungguh bahagia, aku memiliki seorang seperti mu wahai putra Abu Quhafah. Sesungguhnya Allah sebaik-baik pemberi balasan”. Tanpa menunggu waktu, dengan penuh kasih sayang, Al-Musthafa meraih pergelangan kaki yang digigit ular. Dengan mengagungkan nama Allah Pencipta semesta, Nabi mengusap bekas gigitan itu dengan ludahnya. Maha suci Allah, seketika rasa sakit itu tak lagi ada. Abu Bakar segera menarik kakinya karena malu. Nabi masih memandangnya sayang.
“Bagaimana mungkin, mereka para kafir tega menyakiti manusia indah seperti mu.
Bagaimana mungkin?” nyaring hati Abu Bakar kemudian.
Gua Tsur kembali ditelan senyap. Kini giliran Abu Bakar yang beristirahat dan Rasulullah berjaga. Dan, Abu Bakar menggeleng kuat-kuat ketika Rasulullah menawarkan pangkuannya.
Tak akan rela, dirinya membebani pangkuan penuh berkah itu.

***

Kita pasti tahu siapa Abu Bakar. Ia adalah lelaki pertama yang memeluk Islam dan juga salah satu sahabat terdekat Rasulullah. Dari lembar sejarah, kita kenang cinta Abu Bakar kepada Al-Musthafa menyemesta. Kisah tadi terjadi pada saat ia menemani Rasulullah berhijrah menuju Madinah dan harus menginap di Gua Tsur selama tiga malam. Menemani Nabi untuk berhijrah adalah perjalanan penuh rintang. Ia sungguh tahu akibat yang akan digenggamnya jika misi ini gagal. Namun karena cinta yang berkelindan di kedalaman hatinya begitu besar, Abu Bakar dengan sepenuh jiwa, raga dan harta, menemani sang Nabi pergi.
Dia terkenal karena teguh pendirian, berhati lembut, mempunyai iman yang kokoh dan bijaksana. Kekokohan imannya terlihat ketika Madinah kelabu karena satu kabar, Nabi yang Ummi telah kembali kepada Yang Maha Tinggi. Banyak manusia terlunta dan larut dalam lara yang sempurna. Bahkan Umar murka dan tidak mempercayai kenyataan yang ada. Saat itu Abu Bakar tampil mengingatkan seluruh sahabat dan menggaungkan satu khutbah yang mahsyur “Ketahuilah, siapa yang menyembah Muhammad, maka ia telah meninggal dunia. Dan sesiapa yang menyembah Allah, maka sesungguhnya Allah tidak mati”.
Kepergian sang tercinta, tidak menyurutkan keimanan dalam dadanya. Ketiadaan Rasulullah, jua tak memadamkan gebyar semangat untuk terus menegakkan pilar-pilar Islam yang telah dipancangkan. Pada saat menjabat khalifah pertama, ia dengan gigih memerangi mereka yang enggan berzakat. Tidak sampai di situ munculnya beberapa orang yang mengaku sebagi nabi, sang khalifah juga berlaku sama yaitu mengirimkan pasukan untuk mengajak mereka kembali kepada kebenaran. Sesungguhnya pribadi Abu Bakar adalah lemah lembut, namun ketika kemungkaran berada dihadapannya, ia berlaku sangat tegas dalam memberantasnya.
Abu Bakar wafat pada usia 63 tahun, pada saat perang atas bangsa Romawi di Yarmuk berkecamuk dengan kemenangan di tangan Muslim. Sebelum wafat, ia menetapkan Umar sebagai penggantinya. Jenazahnya dikebumikan di sebelah manusia yang paling dicintainya, yaitu makam Rasulullah. Hidup Abu Bakar berhenti sampai di sana, namun selanjutnya manusia yang menurut Rasulullah menjadi salah seorang yang dijamin masuk surga, terus saja mengharumkan sejarah sampai detik sekarang. Ia mencintai Nabinya melebihi dirinya sendiri. Tidakkah itu mempesona?

Rabu, 04 Februari 2009

Gejolak di Balik Bilik

Oleh Anis Matta

Bahkan ketika kamu memiliki semua pesona fisik, jiwa, akal dan ruh, cintamu bukan saja mungkin tertolak dan kamu terluka di bawah hukum keserasaan dan keserasian. Lebih dari itu, kamu juga tidak bebas dari problematika kehidupan cinta dan asmara seperti yang dialami orang-orang biasa.

Dalam terminologi batin kehidupan, sebenarnya kita semua hanya orang-orang biasa, memiliki rasa orang-orang biasa, dan menghadapi persoalan cinta yang juga dialami orang-orang biasa.

Bahkan ketika sang kekasih setara dengan kamu pada pesona fisik, jiwa, akal dan ruhnya, itu juga bukan sebuah sertifikat bebas perkara kehidupan, yang dapat kamu tempel pada dinding kesadaranmu.

Tidak!!! Persoalan hidup adalah jatah setiap manusia, tidak peduli apakah ia orang baik atau bukan. Bahkan sumber persoalan hidup kita seringkali datang dari kebaikan hati kita. Seperti unta yang sabar; orang-orang hanya tahu memikulkan beban ke punggungnya tanpa pernah mendengar keluhannya. Kesabarannya adalah sumber masalahnya.

Yang membedakan mereka adalah bahwa mereka selalu “berada di atas” masalah-masalah mereka. Karena itu mereka selalu mampu “mengatasi” masalah-masalah mereka. Mereka selalu sanggup melampaui lorong gelap pada suatu potongan waktu kehidupan mereka.

Mereka selalu menang. Cerita mereka selalu berakhir bagus; tidak selalu karena endingnya penuh bunga dan senyum, kadang-kadang justru karena keputusan pahit yang mengharu-biru sebab ia lahir dari cinta yang ksatria.

Seperti ketika istri-istri Rasuiullah saw meminta tambahan perhiasan dunia. Apa yang salah dengan tuntutan itu? Itu datang dari istri-istri yang shalihah kepada seorang suami yang shalih. Itu bukan barang haram.

Tapi tuntutan itu berat bagi sang Rasul; bagaimana mungkin ia kembali kepada persoalan kecil seperti ini ketika ia sedang dalam perjalanan untuk melakukan sentuhan akhir dalam penyelesaian misi kenabiannya? Itu mengganggu dan menyedot perhatiannya justru ketika ia sedang membutuhkan konsentrasi penuh untuk menyelesaikan tugas akhirnya. Itu menyebabkan beliau “mendiamkan” mereka selama sebulan. Bahkan beliau menyendiri dan tidak ingin ditemui oleh sahabat-sahabat beliau.

Contoh itu mungkin terasa terlalu sophisticated. Mari kita ambil contoh lain. Suatu saat beliau berada di rumah Aisyah. Kemudian Saudah datang menemui beliau. Aisyah pun menawarkan kue yang baru saja dibuatnya. Tapi Saudah mengatakan, kue itu tidak enak. Aisyah tentu saja tersinggung. la pun menimpuk Saudah dengan kue itu. Dan Saudah membalasnya. Timpuk-menimpuk itu berlangsung sementara sang suami menyaksikannya sembari tertawa terbahak-bahak.

Oh, persoalan memang datang. Tapi selalu berialu. Di balik bilik sederhana itu ada banyak gejolak. Tapi keteduhan selalu mengakhirinya.

Romantika Pasangan Jiwa

Oleh Anis Matta

Orang-orang di negerinya, di Mesir sana, menganggapnya pahlawan cinta. Mereka menyebutnya sebagai kampiun asmara.

Dody Al Fayed dan Lady Diana adalah sebuah roman yang tragis. Dua jiwa bertemu. Tapi tanpa raga. Mereka tidak ditakdirkan bersatu.

Tapi Lady Diana dan pangeran Charles adalah juga roman yang tragis. Dua raga bertemu. Tapi tanpa jiwa. Mereka pernah ditakdirkan bersatu. Tapi tidak ditakdirkan untuk saling mencintai.

Tragis. Terlalu tragis. Dua setengah milyar umat manusia yang ikut menyaksikan proses pemakaman Lady Diana dan Dody hanya mampu menangis. Menyatakan haru entah kepada siapa: sebab di alam jiwa mereka semua nestapa.

Tapi cerita Charles dengan Camilla Parker yang entah menjadi pemicu keretakan rumah tangganya atau tidak, menyelipkan sebuah pertanyaan besar: mengapa sang pangeran lebih tertarik dengan perempuan tua itu ketimbang Diana yang cantik dan anggun, Diana? Bahkan ketika Camila menjadi musuh bersama rakyat Inggris, Charles tetap menikahinya beberapa tahun kemudian? Seperti sebuah kehendak yang dipaksakan walaupun harus melawan arus. Tidak berartikah kecantikan Diana baginya? Dan apakah pesona perempuan tua yang membuatnya nekat itu?

Charles adalah sebuah cerita tentang kesepian. Punya ibu seorang ratu hampir sama dengan menjadi yatim. Maka Charles tumbuh dengan sebuah kebutuhan jiwa yang akut: seseorang yang bisa diajak bicara, mau mendengarnya dan mampu memahaminya, seseorang yang bisa membuatnya merasa sebagai orang normal yang bersikap wajar dalam kehidupannya. Camilla hadir dan bisa memenuhi kebutuhan jiwa itu. Sementara Diana tumbuh sebagai gadis cantik yang terlalu lugu untuk kerumitan-kerumitan besar yang dihadapi Cahrles. Ia bagus sebagai icon kerajaan yang cantik. Tapi tidak bagi Charles yang rumit. Jiwa mereka tidak bertemu ketika raga mereka justru seranjang.

Tim kehidupan pada intinya adalah ide tentang pasangan jiwa dalam katagori cinta jiwa. Bukan terutama tentang poligami. Ini ide tentang pertemuan jiwa yang disebabkan oleh kesamaan, atau kesepadanan, atau keseimbangan, atau kelengkapan. Jiwa-jiwa yang saling bertemu itu bisa dua atau tiga atau empat dan seterusnya. Sama persis dalam semua bentuk tim dalam sebuah organisasi.

Tim itu juga bisa besar pada mulanya lalu menciut pada akhirnya. Umar bin Khattab, misalnya, menceraikan dua istrinya yang sangat cantik, Jamilah dan Qaribah. Tapi bisa bertahan hidup bersama Ummu Kaltsum binti AN atau cucu Rasulullah saw yang usianya terpaut lebih 40 tahun.

Itu sebabnya cinta jiwa merupakan sumber semua cerita roman percintaan dalam sejarah umat manusia. Baik yang berujung tragis maupun yang berakhir bahagia. Jiwa mempunyai hajatnya sendiri. Maka ia lebih bisa mengenal pasangannya sendiri. Juga bergerak dengan caranya sendiri menuju pasangannya.

Di alam jiwa, terlalu banyak kaidah dan kebiasaan alam raga yang tidak berlaku. Itu membuatnya rumit. Tapi agung. Rumit jalan ceritanya. Tapi agung suasananya. Rumit untuk dicerna. Tapi agung untuk dirasakan. Maka romantika cinta pasangan jiwa selalu begitu: bauran yang kompleks antara kerumitan dan keagungan.

Selasa, 03 Februari 2009

Orang-orang Romantis

Oleh Anis Matta

Qais sebenarnya tidak harus bunuh diri. Hidup tetap bisa dilanjutkan tanpa Layla. Tapi itulah masalahnya. Ia tidak sanggup. Ia menyerah. Hidup tidak lagi berarti baginya tanpa Layla.

Ia memang tidak minum racun. Atau gantung diri. Atau memutus urat nadinya. Tapi la membiarkan dirinya tenggelam dalam duka sampai nafas terakhir. Tidak bunuh diri. Tapi jalannya seperti itu.

Orang-orang romantis selalu begitu: rapuh. Bukan karena romantisme mengharuskan mereka rapuh. Tapi di dalam jiwa mereka ada bias besar.

Mereka punya jiwa yang halus. Tapi kehalusan itu berbaur dengan kelemahan. Dan itu bukan kombinasi yang bagus. Sebab batasnya jadi kabur: kehailusan dan kelemahan jadi tampak sama.

Qais lelaki yang halus. Sekaligus lemah.

Kombinasi begini membuat banyak orang-orang romantis jadi sangat rapuh. Apalagi saat-saat menghadapi badai kehidupan. Misalnya ketika mereka harus berpisah untuk sebuah pertempuran.

Maka cinta dan perang selalu hadir sebagai momen paling melankolik bagi orang-orang romantis Mengerikan. Tapi tak terhindarkan. Berdarah-darah. Tapi tak terelakkan. Itu dunia orang-orang jahat. Dan orang-orang romantis hanya datang ke sana sebagai korban.

Begitu ruang kehidupan direduksi hanya ke dalam kehidupan mereka berdua dunia tampak sangat buruk dengan perang. Tapi kehidupan punya jalannya sendiri. Ada kaidah yang mengaturnya. Dan perang adalah niscaya dalam aturan itu.

Maka terbentanglah medan konflik yang rumit dalam batin mereka. Dan orang-orang romantis yang rapuh itu seialu kalah. Itu sebabnya Allah mengancam orang-orang beriman: kalau mereka mencintai istri-istri mereka lebih dari cinta mereka pada jihad, maka Allah pasti punya urusan dengan mereka.

Tapi inilah persoalan inti dalam ruang cinta jiwa. Jika cinta jiwa ini berdiri sendiri, dilepas sama sekali dari misi yang lebih besar, maka jalannya memang biasanya ke sana: romantisme biasanya mengharuskan mereka mereduksi kehidupan hanya ke dalam ruang kehidupan mereka berdua saja, karena di sana dunia seluruhnya hanya damai, di sana mereka bisa menyembunyikan kerapuhan atas nama kehalusan dan kelembutan jiwa.

Itu sebabnya cinta jiwa selalu membutuhkan pelurusan dan pemaknaan dengan menyatukannya bersama cinta misi. Dari situ cinta jiwa menemukan keterarahan dan juga sumber energi. Dan hanya itu yang memungkinkan romantisme dikombinasi dengan kekuatan jiwa. Maka orang-orang romantis itu tetap dalam kehalusan jiwanya sebagai pencinta, tapi dengan kekuatan jiwa yang tidak memungkinkan mereka jadi korban karena rapuh.

Ketika kabar syahidnya syekh Abdullah Azzam disampaikan kepada istri beliau, janda itu hanya menjawab enteng, “Alhamdulillab, sekarang dia mungkin sudah bersenang-senang dengan para bidadari.”

Mengikat Jiwa dengan Misi

Oleh Anis Matta

Genap tiga hari sudah ia menghilang. Genap juga tiga kali sang guru bertanya tentang keberadaan muridnya. Tidak hadir di halaqah ilmu bukan kebiasaannya. Apalagi tanpa pemberitahuan.

Ia salah satu yang paling rajin di antara semua muridnya. Tapi pada hari keempat akhirnya sang murid muncul juga. Tapi dengan wajah yang menyimpan banyak sedih. Dan pilu.

“Ke mana saja kamu selama tiga hari ini?” tanya sang guru.

“Aku sedang berduka, ya syaekhana (tuan kami). Istriku baru saja wafat tiga hari lalu,” jawabnya sedih.

“Oh, kalau begitu aku turut berduka. Semoga Allah memasukkannya ke dalam surga-Nya dan memberimu ketabahan.”

Tapi kemudian sang guru tiba-tiba bertanya lagi, “Apakah kamu sudah menikah lagi?”

Tentu saja ia kaget. Tapi ia menjawab juga. “Tentu saja belum, ya syaekhana”.

“Apakah kamu ingin menikah lagi?” tanya sang guru lagi.

“Tentu saja mau, ya syaekhana,” jawabnya pasti.

“Bagaimana kalau kunikahkan kamu dengan puteriku?”.

Pertanyaan ini membuat sang murid berpikir bahwa gurunya hanya sedang menghiburnya. Maka ia menjawab sekenanya: “Tentu saja aku terima nikah puterimu, ya syaekhana.”

Sang murid kembali ke biliknya tanpa beban. Tanpa ingatan apa-apa atas dialog tadi.

Tapi di malam hari tiba-tiba pintunya diketuk. Ketika ia membukanya ia mendapati sang guru berdiri di depan pintu.

“Ini istrimu ku antar padamu, karena kamu tidak datang menjemputnya sore tadi,” kata sang guru enteng.

Sang murid tergagap. Ini nyata atau mimpi? Sekelebat saja dan sang guru telah menghilang. Dan hadirlah di hadapannya seorang gadis berwajah cantik bagai rembulan. Matanya bersinar terang. Lugu dan tanpa dosa. Ia pasti tidak tahu siasat laki-laki. Tapi jidatnya memancarkan kecerdasan yang menyala-nyala.

Dan sang murid masih saja tergagap di antara percaya dan tidak percaya. Ia makin malu ketika ia menyadari bahwa di rumahnya hanya ada sepotong roti dan secangkir air putih. Bukan. Ia malah sedikit minder. Makanya ia segera menyatakan permohonan maaf kepada puteri gurunya yang sekarang telah menjadi istrinya.

Tapi gadis itu seketika marah dan berkata, “Celakahlah ayahku, Said Ibnul Musayyab, mengapa ia menikahkan aku dengan seorang laki-laki yang imannya lemah begini? Dia masih punya sepotong roti dan segelas air tapi merasa tidak punya apa-apa!”

Begitulah kejutan cinta datang mengisi potongan kedua hidupnya. Tapi riwayatnya belum berakhir di situ.

Malam pertama itu berlangsung indah. Seindah semua malam pertama para pengantin.

Keesokan harinya sang murid membenahi buku catatan untuk berangkat beiajar. Tapi ia dicegat sang istri, “Bukankah kamu belajar dalam fiqh bahwa hak seorang perawan adalah tujuh hari tidak boieh ditinggal?”

Sang murid termangu. “Kamu benar,” hanya itu yang bisa dikatakannya.

Maka ia pun menghilang tujuh hari dari halaqah ilmu sang guru untuk memenuhi hak sang perawan.

Pada hari ke delapan ia berkemas lagi untuk pergi ke halaqah ilmu sang guru. Tapi ia dicegat lagi sang istri dengan sebuah pertanyaan, “Kamu belajar apa sama ayahku, Said Ibnul Musayyab?”

Sang murid tidak mengerti arah pertanyaan ini. Ia pun menjawab, “Aku belajar semua ilmu. Ada tafsir, hadits, fiqh, sejarah dan semua ilmu tentang agama ini.”

Lalu sang gadis menjawab penuh percaya diri, “Duduklah di sini. Belajarlah padaku. Karena semua yang ada di kepala Said juga ada di kepalaku”.

Perempuan itu agaknya mewakili kezuhudan kakeknya, Abu Hurairah, dan ilmu ayahnya, Said Ibnul Musayyab. Tapi kepada para pencinta sejati ia menyampaikan pesan ini: “bahwa orang-orang romantis hanya menjadi mungkin kuat ketika romantika mereka diikat oleh misi kehidupan yang luhur.”

Semangat Penumbuhan

Oleh Anis Matta

Pekerjaan kedua seorang pencinta sejati, setelah memperhatikan, adalah penumbuhan. Inilah cintanya cinta. Inilah rahasia besar yang menjelaskan bagaimana cinta bekerja mengubah kehidupan kita dan membuatnya menjadi lebih baik, lebih bermakna.

Cinta adalah gagasan dan komitmen jiwa tentang bagaimana membuat kehidupan orang yang kita cintai menjadi lebih baik. Jika perhatian memberikan pemahaman mendalam tentang sang kekasih, maka penumbuhan berarti melakukan tindakan-tindakan nyata untuk membantu sang kekasih bertumbuh dan berkembang menjadi lebih baik.

Kita tidak boleh berhenti diujung perhatian sembari mengatakan kepada sang kekasih: "Aku mencintaimu sebagaimana kamu adanya." Atau: "Aku menerima dirimu apa adanya." Memahami dan mengerti sang kekasih tidaklah cukup. Seorang pencinta sejati harus mampu mengimajinasikan sebuah plot akhir dari kehidupan yang dijalani sang kekasih. Itu tidak berarti bahwa kita mengintervensi kehidupannya secara rigid atas nama cinta. Tidak! yang dilakukan seorang pencinta sejati adalah menginspirasi sang kekasih untuk meraih kehidupan paling bermutu yang mungkin ia raih berdasarkan keseluruhan potensi yang ia miliki.

Kalau bukan karena kerja-kerja penumbuhan, seorang pencinta sejati tidak akan sanggup bertahan hidup disamping seorang kekasih yang ilmu, pengalaman, keterampilan, dan kepribadiannya, tidak bertumbuh dalam 10 tahun perkawinannya, misalnya. Kamu pasti bosan mengobrol dengan seorang yang hidupnya stagnan, dingin dan tidak dinamis. Para pencinta sejati menemukan gairah kehidupan dari perubahan-perubahan dinamis dalam kehidupan kekasih mereka. Seperti gairah kehidupan yang dirasakan seorang ibu ketika ia menyaksikan bayinya tumbuh dan berkembang menjadi anak remaja lalu dewasa. Atau gairah yang dirasakan seorang guru saat menyaksikan muridnya tumbuh menjadi ilmuwan dan intelektual.

Penumbuhanlah yang membedakan cinta yang matang dengan cinta seorang melankolik. Penumbuhan memberikan sentuhan edukasi pada hubungan cinta. Sebab di sini cinta bukan sekedar gumpalan emosi di langit jiwa: yang mungkin meledak bagai halilintar, atau membanjiri bumi dengan hujan air mata, pikiran dan fisik sekaligus. Itu yang membuatnya nyata. Dan efektif.

Di tangan Rasulullah saw Aisyah bukan hanya seorang istri. Rasulullah saw telah menumbuhkannya menjadi bintang di langit sejarah. Suatu saat Ali Tanthowi mengatakan: "Istriku yang tamatan SD ternyata lebih intelek daripada mahasiswi-mahasiswiku yang hampir sarjana." Beliau mengatakan itu setelah melewati 10 tahun masa perkawinan. Ketika Iqbal menemukan dirinya telah menjadi filosof dunia, ia menyadari itu kerja sang guru. Maka ia berkata tentang gurunya itu: "Dan nafas cintanya meniup keuncupku jadi bunga."

Cinta Maslahat

Oleh Anis Matta

Ini jenis cinta ketiga: cinta maslahat. Cinta ini lahir dari dan karena dan untuk maslahat.

Kita mencintai sesuatu atau seseorang atau sebuah pekerjaan karena ada maslahatyang kita peroteh di balik itu. Jadi maslahat adalah alasannya.Maslahat itu bisa terbatas dalam skala pribadi bisa juga meluas dalam skala kelompok atau bangsa atau bahkan dunia.

Dalam skala pribadi misalnya cinta hobi. Para pembalap atau pemburu menanggung resiko besar dari aktivitas mereka. Tapi mereka melakukannya karena hobi: maslahat mereka adalah kenyamanan karena kepuasan psikologis.

Dalam skala kelompok misalnya cinta para pengusaha kepada pelanggan mereka. Mereka mengeluarkan uang besar untuk melakukan survey tentang kebutuhan pelanggan mereka. Lalu membangun sistem dan tradisi pelayanan yang baik untuk memuaskan pelanggan mereka: karena di balik itu ada untung besar.

Dalam skala bangsa misalnya adalah apa yang dilakukan para politisi untuk mendapatkan dukungan suara rakyat dalam pemilu. Mereka mungkin tidak didorong oleh misi suci ibadah untuk memperbaiki keadaan rakyat mereka. Tapi mereka tetap harus melakukan sesuatu untuk mendapatkan simpati mereka: kelanjutan karir mereka ada pada dukungan suara mereka.

Dalam skala dunia misalnya gerakan cinta lingkungan yang muncul setelah perang dan industri mengancam keselamatan lingkungan global.

Dalam lingkungan pergaulan sehari-hari, kadang-kadang kita harus “berbuat baik” pada seseorang atau sekelompok orang. Bukan karena kita mencintai orang atau kelompok tersebut. Tapi dengan berbuat baik pada mereka kita melindungi diri kita dari potensi kejahatan mereka. Ini juga cinta maslahat.

Dulu Umar Bin Khattab memberikan sepuluh ribu dirham kepada seorang penyair. Untuk apa? Agar dia tidak membuat syair-syair hinaan kepada siapa saja yang bisa mempengaruhi ketenangan masyarakat. Karena syair punya pengaruh besar dalam masyarakat Arab. Katakanlah seperti pengaruh media dalam masyarakat kita saat ini.

Menghindari kejahatan seseorang dengan berbaik-baik pada mereka adalah cinta maslahat. Bukan cinta misi. Bukan juga cinta jiwa. Pendorongnya bukan dari dalam jiwa. Tapi dari luar.

Hanya berguna untuk keseluruhan eksistensi jiwa dan proses pencapaian misi kita. Kecuali dalam kasus cinta hobi, cinta maslahat umumnya adalah buah dari akal sehat atau hasrat pemuasan jiwa. Akal sehat selalu lahir dari fitrah kemanusiaan yang lurus. Maka buahnya pun begitu: selalu berguna bagi maslahat kemanusiaan.

Merawat Dengan Kebajikan

Oleh Anis Matta

Hubungan cinta yang mendalam dan mampu menembus lorong waktu yang panjang hanya mungkin terjadi jika orang-orang yang saling mencintai mengalami perbaikan berkesinambungan. Mereka terus bertumbuh. Itu dinamika kehidupan yang niscaya diperlukan untuk memberikan sentuhan gairah pada cinta.

Tapi pertumbuhan tidak akan terjadi permanen tanpa perawatan yang permanen pula. Kalau pertumbuhan dilakukan dengan memfasilitasi proses pembelajaran orang yang kita cintai, maka perawatan dilakukan dengan memberikan sentuhan lembut kebijakan pada sang kekasih. Sang kekasih yang sedang bertumbuh itu harus dipuaskan dengan kebajikan harian yang membuatnya nyaman. Kalau perawatan memberinya kekuatan psikologis dalam menjalani dinamika pertumbuhan itu.

Senyum yang lembut, kata-kata yang baik, belaian kasih, saat-saat melayani, hadiah-hadiah kecil, hubungan fisik yang intim dan intensif, perjalanan bersama yang harus dilakukan para pencinta kepada kekasihnya untuk satu tujuan: merawat jiwanya. Itulah air. Itulah matahari.

Di taman kebajikan itu cinta bersemi. Hanya di taman itu. Kamu tidak bisa mencintai hanya dengan kata-kata. Sentuhan romantika dari kata-kata hanya sebagian dari kebajikan hati para pencinta sejati. Sebab kata-kata, sama seperti senyuman atau sorotan mata, jika ia terbit dari hati yang bajik, maka ia kehilangan elegannya. Ia tidak akan pernah menggetarkan. Adakah yang lebih mempesona dari seorang kekasih selain semua yang menggetarkan itu?

Kalau pelaku sehari-harimu tidak lagi menggetarkan jiwa kekasihmu, kemungkinan besar karena ia terpisah dari jiwamu. Atau di sana cinta tidak lagi sanggup menerbitkan kebajikan baru dalam dirimu.

Ini juga menjelaskan mengapa keshalihan selalu bersaudara dengan cinta. Keshalihan adalah kekuatan yang memotivasi dan menginspirasi kita untuk melakukan kebajikan secara terus-menerus. Orang shalih selalu berada di garis kebajikan maksimum dan minimum: jika ia mencintai seseorang ia menghormati dan melayani orang itu. Tapi jika ia tidak mencintainya ia tidak akan sampai menzalimi orang itu.

Tantangan cinta yang paling rumit adalah waktu. Dalam perjalanan waktu, kesejatian cinta teruji. Dan, ujiannya adalah menjawab pertanyaan sesederhana ini: seberapa besar kadar kebajikan yang terkandung dalam cinta itu? Alam tamsil ini cinta adalah kereta: ia hanya berjalan di atas rel kebajikan. Begitu kebajikanmu habis, kereta cinta juga berhenti berjalan. Hanya ketika kamu menjadi orang baik, kamu dapat mencintai dengan kuat. Kalau ujian cinta adalah waktu, maka jawabannya adalah kepribadian.

Cinta dari Maslahat Pribadi

Oleh Anis Matta

Memang gagah laki-laki itu. Tinggi, besar, ganteng dan seorang pemberani. Ia senang berburu. Dan ia memanjakan kegemaran pribadinya itu sejauh yang bisa ia lakukan.

Maka ia pun berburu ke seluruh tempat perburuan di manca negara: Afrika, Amerika, Kanada, Asia Tengah, Eropa Timur, dan lainnya. Meskipun untuk setiap kali berburu ia harus mengeluarkan uang ratusan juta atau bahkan milyaran rupiah.

Bukan cuma itu. Ia juga mengoleksi hasil buruannya dalam sebuah galeri besar: bangunan berlantai tiga. Walau pun galeri ini terletak di Medan, tapi mungkin bahkan yang terbesar di Asia. Maka tidak heran kaiau untuk semua itu ia tercatat sebagai salah seorang the great hunter di jagad ini.

Orang-orang melakukan kerja-kerja besar bahkan raksasa, mengerahkan semua pikiran, energi, waktu dan sumber daya lainnya untuk sesuatu yang ia gemari, sesuatu yang ia senangi, sesuatu yang ia cintai.

Kita sebut ini hobi. Tapi sumber energinya adalah cinta. Itu yang menjelaskan mengapa hasilnya selalu besar, selalu spektakuler, selalu luar biasa, selalu menakjubkan.

Jadi hobi adalah kegemaran, kesenangan dan cinta yang bermuara pada hajat dan maslahat pribadi seseorang. Maslahat pribadi itu biasanya benar-benar pribadi. Misalnya dalam kasus perburuan ini adalah kepuasan batin, eksplorasi perasaan kejantanan dan maskulinitas, kebanggaan dan keberanian, semangat petualangan dan seterusnya. Biasanya juga tidak merusak orang lain atau kepentingan publik. Karena orientasinya adalah pemuasan pribadi.

Tapi kadang-kadang maslahat pribadi itu bisa juga terkait dengan maslahat umum yang lebih besar. Misalnya jika kegemaran berburu itu dilakukan dalam kerangka konservasi alam dan hasilnya untuk kepentingan pendidikan bagi publik. Atau perburuan barang-barang antik dari para kolektornya untuk kemudian disimpan dalam sebuah museum pribadi tapi bisa dinikmati publik.

Kadang juga tidak bisa dikaitkan sama sekali dengan maslahat publik. Tapi sumber energinya bisa dialihkan pada pekerjaan lain yang lebih bermanfaat bagi publik.

Sebab hobi adalah sumber energi yang sangat dahsyat dalam diri seseorang. Misalnya jika kita bisa mengalihkan hobi para pencinta binatang kepada pencinta manusia. Maka kegemaran merawat, melindungi, dan memelihara binatang dialihkan menjadi perawatan, perlindungan dan pemeliharaan manusia.

Hasilnya bisa sama dahsyatnya. Misalnya dalam bidang aktivitas sosial atau pendidikan.

Cerita itulah yang mengawali perubahan hidup dari seorang da’i besar abad lalu: Umar Tilmsani.
Mursyid Am ketiga Ikhwanui Muslimin ini pada mulanya adalah seorang pencinta binatang. Areal rumah pribadinya yang hampir satu hektar dipenuhi dengan binatang peliharaannya. Dan ia sedang bermain dengan binatang-binatang itu ketika sekelompok pemuda dakwah mendatanginya dalam kerangka rekrutmen dakwah.

Mereka tidak banyak bicara soal dakwah. Mereka justru ikut bicara soal binatang. Tapi di ujung pertemuan itu mereka mengeluarkan sebuah komentar yang kemudian mengubah seluruh hidup Umar Tilmsani. Mereka berkata pada beliau, “Seandainya kegemaran memelihara binatang ini dialihkan kepada memelihara manusia, mungkin itu akan jauh lebih bermanfaat. Sebab manusia muslim yang memerlukan pendidikan jauh lebih banyak dan lebih penting dari binatang-binatang ini.”

Di Ujung Pengalaman Pahit

Oleh Anis Matta

“Kenapa kamu takut bunuh diri?”, tanya letaki itu gamang.

“Dan kamu, kenapa kamu tidak mau melanjutkan hidup?” kawannya gamang juga, namun tetap berusaha optimis.

Dua orang dekat Hitler itu saling menatap dalam ketakutan pada menit-menit terakhir menjelang kejatuhan Berlin ke tangan Soviet, dan yang pasti akan mengakhiri riwayat petualangan Hitler. Di medan tempur mereka kalah, dan di medan hati semua rasa berkecamuk: antara ketakutan, kesetiaan, keberanian, kehormatan dan kesia-siaan.

Ketika akhirnya Soviet merebut Berlin, lelaki yang pertama akhirnya menembak kepalanya sendiri: “Karena saya sudah berjanji pada Hitler, bahwa saya akan mengikuti jejaknya: bunuh diri begitu Soviet merebut Berlin”. Tapi lelaki yang kedua akhirnya menyerah dan memilih bersama dengan Soviet, namun terus hidup: “Karena saya tidak ingin mati sia-sia”.

Kematian selalu mengajar manusia menghargai kehidupan. Seperti perang memaksa manusia mengharapkan perdamaian. Setiap kali kegilaan angkara murka membinasakan hidup manusia, saat itu akal sehat hadir dengan tawaran yang sederhana: tinggalkan kesia-siaan ini dan hargailah hidup.

Maka di ujung keberanian yang sebenarnya adalah kegilaan, selalu muncul ketakutan yang malu-malu; tapi itu sebenarnya adalah harapan yang tulus untuk tetap bertahan hidup dan terbebas dari kesia-siaan. Dialog yang terekam dengan baik dalam film Dawn Fall itu sebenarnya merupakan dialog antara kegilaan dan akal sehat, antara kematian dan kehidupan, antara kehormatan dan kesia-siaan.

Begitulah selalu kejadiannya: cinta manusia pada perdamaian selalu lahir sesudah perang panjang yang sia-sia. Cinta damai itu adalah ikrar akal sehat yang lahir di ujung pengalaman pahit yang memilukan. Perang Dunia Kedua yang telah membinasakan puluhan juta nyawa manusia akhirnya melahirkan PBB dengan cita-cita yang sederhana: menciptakan perdamaian dunia.

Perdamaian adalah maslahat kemanusiaan yang agung. Tapi manusia tidak selalu mencintainya sejak awai. Mereka perlu melamapaui kegilaan angkara murka untuk merasakan kebutuhan yang sangat pada perdamaian itu. Itu sebabnya cinta maslahat yang lahir dari akal sehat ini selalu merupakan temuan dari pengalaman pahit.

Dan itu tabiat manusia pada dasarnya: mereka membutuhkan benturan untuk menjadi lebih baik. Seperti cinta maslahat itu. Seperti cinta damai itu.

Melindungi Dengan Keberanian

Oleh Anis Matta

Kamu haruslah seorang pemberani kalau kamu mau jadi pencinta sejati. Orang-orang yang kamu cintai harus merasa aman saat berada di dekatmu. Rasa aman adalah aroma kepribadian para pencinta pemberani.

Kalau kita sudah memberi perhatian mendalam, melakukan kerja-kerja penumbuhan, merawat cinta kasih dengan siraman kebajikan harian, hal terakhir yang harus kita persembahkan kepada orang yang kita cintai adalah melindunginya: melindungi jiwanya, raganya, masa depannya serta proses pertumbuhannya.

Tapi perlindungan bukan penjara bagi sang kekasih. Orang yang kita cintai tidak boleh merasa bahwa perlindungan adalah cara kita untuk mempertahankan 'kekuasaan' dan 'kepemilikan' atas dirinya. Perlindungan adalah langkah-langkah proteksi yang bersifat antisipatif untuk memastikan bahwa orang yang kita cintai menjalankan kehidupannya secara aman, baik fisik maupun psikis, dan bahwa proses pertumbuhannya berjalan baik tanpa gangguan berarti yang bisa menggagalkannya. Yang terakhir ini, misalnya, gangguan lingkungan pergaulan dan kultur yang bisa merusak nilai-nilai yang kita tanamkan untuk menumbuhkan orang-orang yang kita cintai. Jadi perlindungannya bersifat menyeluruh: fisik, psikis dan moral bahkan finansial.

Semua bentuk perlindungan itu hanya mungkin dilakukan para pencinta pemberani. Keberanian meraka juga menyeluruh: keberanian moral dan keberanian fisik. Orang-orang yang kita cintai harus menikmati sebuah perasaan yang kuat saat berada di sekitar kita bahwa mereka bebas dari rasa takut, sekaligus gembira karena kepercayaan yang kuat bahwa jauh di luar dirinya ada kekuatan cinta yang bekerja secara diam-diam dan penuh keberanian untuk melindungi proses pertumbuhannya.

Dalam banyak situasi, proses perlindungan itu mengharuskan kita berkorban apa saja, termasuk jiwa. Dalam makna pengorbanan yang tulus itulah cinta menemukan kesejatiannya. Dan keindahannya, sekaligus. Apakah ada riwayat percintaan dalam sejarah manusia yang menggugah nurani kita selain karena ia dipenuhi tetesan keringat, air mata dan darah, tanpa akhir? Pengorbanan dalam sejarah cinta seperti pelangi yang menghiasi langit kehidupan. Atau seperti tetesan darah yang menjadi saksi bagi para syuhada dihadapan Allah: saksi atas cinta dan rindu yang tak pernah selesai.

Itu sebabnya cinta sejati selalu melahirkan sifat-sifat ksatria, keterhormatan, kedermawanan, kesetiaan dan perngorbanan. Karena sifat-sifat itulah yang memberi kekuatan pada cinta, dan membuatnya penuh daya gugah. Sifat-sifat itu semua mengalir dari satu mata air: kecemburuan. Kecemburuan adalah semangat pembelaan yang lahir dari cinta sejati. Ia hanya menjadi negatif ketika ia lahir dari semangat menguasai dan memiliki.

Dalam makna pembelaan itulah Rasulullah saw bersabda, “Siapa yang mati karena membela harta dan keluarganya maka ia mati syahid.”

Mari Kita Belajar Mencintai

Oleh Anis Matta

Jika cinta, pada semua jenisnya, adalah kesadaran, adalah perasaan, adalah tindakan, maka cinta pada akhirnya adalah kemampuan yang terintegrasi dalam seluruh aspek kepribadian kita.

Kemampuan seseorang untuk mencintai adalah gambaran paling utuh dari seluruh kapasitas kepribadiannya. Hanya orang-orang dengan kepribadian kuat dan kapasitas besar yang mampu mencintai. Orang-orang lemah, yang setiap saat bisa kita saksikan di sekitar kita, tidak akan pernah mencintai. Bahkan untuk mencintai diri mereka sekalipun. Takdir mereka adalah menantikan cinta dan kasih sayang orang-orang kuat.

Orang-orang kuat mencintai dengan segenap kesadarannya. Maka mereka terus-menerus memproduksi kebajikan demi kebajikan. Sementara orang-orang lemah bahkan tidak memiliki kesadaran untuk mencintai. Maka mereka terus-menerus mengkonsumsi kebajikan orang-orang kuat. Itu sebabnya orang-orang kuat dalam masyarakat selalu merupakan faktor kohesi yang merekatkan masyarakat.

Mereka merekatkan masyarakat dengan cinta dan kebajikan mereka. Makna inilah yang ditebarkan oleh Rasulullah saw begitu beliau tiba di Madinah dan memulai kerja membangun negara baru itu: “Wahai sekalian manusia, tebarkan salam, berikan makan, bangun sholat malam saat orang-orang tertidur, niscaya kalian akan masuk surga dengan penuh damai”.

Ini merupakan penjelasan bagi keterangan selanjutnya. Bahwa untuk bisa mencintai, bahwa untuk menjadi pencinta sejati, kita harus mengembangkan kapasitas dan kepribadian kita. Cinta adalah pelajaran tentang bagaimana mengubah kepribadian kita untuk menjadi lebih baik secara berkesinambungan, pelajaran tentang bagaimana menjadi manusia yang produktif untuk bisa memberi, pelajaran tentang bagaimana menjadi orang kuat yang penyayang, pelajaran tentang bagaimana melimpahruahkan kebajikan abadi bagi penumbuhan kehidupan orang-orang di sekitar kita yang kadang berujung tanpa sedikitpun rasa terima kasih, atau bahkan penolakan.

Ini bukan pelajaran tentang teknik atau keterampilan mencintai seperti ketika belajar tentang tehnik berkomunikasi dengan orang lain, atau bagaimana merebut hati seseorang untuk suatu hubungan cinta asmara. Bukan. Sama sekali bukan tentang itu.

Ini adalah pelajaran tentang bagaimana membangun kembali dasar-dasar kepribadian yang kokoh dan tangguh, yang memungkinkan kita mencintai secara sadar, bertanggungjawab dan bertindak produktif untuk membuktikan cinta itu dalam kenyataan. Dan dengan begitu cinta bukan saja berefek pada perbaikan berkesinambungan terhadap hubungan-hubungan kemanusiaan kita, tapi juga terutama pada perbaikan kehidupan kita seluruhnya secara berkesinambungan.

Dan ini mungkin dan terbuka. Semua kita bisa mempelajarinya. Alasannya sangat sederhana. Rasulullah saw bersabda: “Ilmu diperoleh dengan belajar. Kesabaran diperoleh dengan belajar menjadi sabar. Kesantunan diperoleh dengan belajar menjadi santun.”

Ini menjelaskan bahwa di samping karakter-karakter bawaan yang melekat dalam diri kita sebagai warisan genetik, semua karakter lain bisa kita peroleh dengan mempelajari dan mengimplementasikannya dalam kehidupan kita.

Begitu juga cinta. Begitu juga cinta. Semua kita bisa mencintai. Semua kita mungkin menjadi pencinta sejati. Asal kita kita mau belajar. Asal kita mau belajar bagaimana mencintai.

Semangat Penanggungan

Oleh Anis Matta

Cinta tidak akan pernah berkembang menjadi rencana aksi kecuali ketika ia lahir dari semangat pertanggungjawaban. Cinta yang kuat adalah manifestasi dan sense of responsibility yang terus menerus bergelora dalam jiwa sang pencinta. Sebab cinta adalah tindakan. Bukan sekadar kata-kata. Atau janji-janji.

Sebagian dari tindakan cinta itu adalah mengambil-alih masalah yang tidak dapat diselesaikan oleh orang yang kita cintai. Sebagiannya lagi adalah mengembangkan diri orang yang kita cintai secara terus-menerus. Tindakan cinta adalah keterlibatan terus-menerus pada masalah dan penumbuhan orang-orang yang kita cintai.

Tantangan beratnya adalah bahwa orang-orang yang kita cintai terlalu sering tidak menyadari kebajikan yang kita suplai secara berkesinambungan kepada mereka. Bahkan sering tanpa sadar menjadi tergantung kepada kebajikan itu. Tapi seperti kepada matahari, udara dan air, sikap kita juga begitu: kita menjadi terlalu terbiasa dengan kebajikan Ilahiyah itu dan karenanya lupa untuk bersyukur dan menyatakan terima kasih yang tulus.

Jadi mencintai adalah sebuah keputusan besar yang kita buat dalam hidup kita. Dan seperti semua keputusan lainnya, keputusan untuk mencintai juga mengandung beban dan resiko. Maka semua pekerjaan yang harus dilakukan atas nama cinta selalu mengandung makna sebuah amanat, sebuah tugas, sebuah janji.

Misalnya menjadi pemimpin rakyat. Itu pekerjaan yang harus dilakukan atas nama cinta. Dan karenanya merupakan sebuah amanat, sebuah tugas, sebuah janji. Cinta dari semangat penanggungan itulah yang mengganggu tidur mereka senantiasa.

Lihatlah Umar bin Khattab yang tidak bisa tidur siang dan malam. “Bagaimana mungkin aku bisa tidur? Kalau aku tidur di siang hari lantas siapa yang mengurus rakyatku? Kalau aku tidur di ma]am hari lantas kapan aku bisa memenuhi hak diriku untuk bermunajat dengan Allah?”

Begitu juga perkawinan. Akad nikah adalah sebuah perjanjian yang keras. Seorang laki-laki yang mengambil-alih hak perwalian dari ayah perempuan yang menjadi istrinya harus menandatangani sebuah ‘aqad, sebuah kontrak, sebuah janji.

Laki-laki itu mengambil perempuannya dari perlidungan sang ayah dengan amanat Allah. Dalam kontrak itu ada sebuah komitmen sekaligus daftar kewajiban yang harus ditunaikan. Amanat itu yang selalu memastikan bahwa seorang suami yang bertanggung jawab “akan menghormati istrinya kalau ia mencintainya, tapi tidak akan pernah menzaliminya kalau kemudian ia tidak lagi mencintainya”.

Entah karena merasa sudah tua atau alasan lain suatu saat Saudah menawarkan kepada Rasulullah saw untuk memberikan giliran harinya kepada Aisyah yang lebih muda dan lebih dicintai Rasulullah saw. Tapi Rasulullah saw mengatakan, “Tidak! Kamu harus mendapatkan apa yang menjadi hakmu.”

Semangat pertanggungjawaban selalu begitu: melahirkan cinta yang tulus dan agung, karena ia membuat pandangan mata hatimu mampu menembus batas kebenaran yang tampak sekilas kepada hakikat abadi yang ada di sana: di haribaan Allah di hari keabadian.

Mencintai Itu Keputusan

Oleh Anis Matta

Lelaki tua menjelang 80-an itu menatap istrinya. Lekat-lekat. Nanar. Gadis itu masih terlalu belia. Baru saja mekar. Ini bukan persekutuan yang mudah. Tapi ia sudah memutuskan untuk mencintainya. Sebentar kemudian iapun berkata, “Kamu kaget melihat semua ubanku? Percayalah! Hanya kebaikan yang akan kamu temui di sini.” Itulah kalimat pertama Utsaman bin Affan ketika menyambut istri terakhirnya di Syam, Naila. Selanjutnya adalah bukti.

Sebab cinta adalah kata lain dari memberi... sebab memberi adalah pekerjaan... sebab pekerjaan cinta dalam siklus memperhatikan, menumbuhkan, merawat dan melindungi itu berat... sebab pekerjaan itu harus ditunaikan dalam waktu lama... sebab pekerjaan berat dalam waktu lama begitu hanya mungkin dilakukan oleh mereka yang memiliki kepribadian kuat dan tangguh... maka setiap orang hendaklah berhati-hati saat ia akan mengatakan, “Aku mencintaimu.” Kepada siapapun!

Sebab itu adalah keputusan besar. Ada taruhan kepribadian di situ. “Aku mencintaimu,” adalah ungkapan lain dari, “Aku ingin memberimu sesuatu.” Yang terakhir ini juga adalah ungkapan lain dari, “Aku akan memperhatikan dirimu dan semua situasimu untuk mengetahui apa yang kamu butuhkan untuk tumbuh menjadi lebih baik dan bahagia... aku akan bekerja keras untuk memfasilitasi dirimu agar bisa tumbuh semaksimal mungkin... aku akan merawat dengan segenap kasih sayangku, proses pertumbuhan dirimu melalui kebajikan harian yang kulakukan padamu... aku juga akan melindungi dirimu dari segala sesuatu yang dapat merusak dirimu dan proses pertumbuhan itu...” Taruhannya adalah kepercayaan orang yang kita cintai terhadap integritas kepribadian kita. Sekali kamu mengatakan kepada seseorang, “Aku mencintaimu,” kamu harus membuktikan ucapan itu. Itu deklarasi jiwa bukan saja tentang rasa suka dan ketertarikan, tapi terutama tentang kesiapan dan kemampuan memberi, kesiapan dan kemampuan berkorban, kesiapan dan kemampuan melakukan pekerjaan-pekerjaan cinta: memperhatikan, menumbuhkan, merawat dan melindungi.

Sekali deklarasi cinta tidak terbukti, kepercayaan hilang lenyap. Tidak ada cinta tanpa kepercayaan. Begitulah bersama waktu suami atau istri kehilangan kepercayaan kepada pasangannya. Atau anak kehilangan kepercayaan kepada orang tuanya. Atau sahabat kehilangan kepercayaan kepada kawannya. Atau rakyat kehilangan kepercayaan kepada pemimpinnya. Semua dalam satu situasi: cinta yang tidak terbukti. Ini yang menjelaskan mengapa cinta yang terasa begitu panas membara di awal hubungan lantas jadi redup dan padam pada tahun kedua, ketiga, keempat dan seterusnya. Dan tiba-tiba saja perkawinan bubar, persahabatan berakhir, keluarga berantakan, atau pemimpin jatuh karena tidak dipercaya rakyatnya.

Jalan hidup kita biasanya tidak linier. Tidak juga seterusnya pendakian. Atau penurunan. Karena itu konteks di mana pekerjaan-pekerjaan cinta dilakukan tidak selalu kondusif secara emosional. Tapi disitulah tantangannya: membuktikan ketulusan di tengah situasi-situasi yang sulit. Disitu konsistensi diuji. Di situ juga integritas terbukti. Sebab mereka yang bisa mengejawantahkan cinta di tegah situasi yang sulit, jauh lebih bisa membuktikannya dalam situasi yang longgar.

Mereka yang dicintai dengan cara begitu, biasanya merasakan bahwa hati dan jiwanya penuh seluruh. Bahagia sebahagia-bahagianya. Puas sepuas-puasnya. Sampai tak ada tempat lagi yang lain. Bahkan setelah sang pencinta mati. Begitulah Naila. Utsman telah memenuhi seluruh jiwanya dengan cinta. Maka ia memutuskan untuk tidak menikah lagi setelah suaminya terbunuh. Ia bahkan merusak wajahnya untuk menolak semua pelamarnya. Tak ada yang dapat mencintai sehebat lelaki tua itu.

KEULETAN JIWA

Oleh Anis Matta

Semangat penanggungan dan naluri keulungan adalah gelora moral dan jiwa sekaligus yang hanya mungkin metahirkan bunyi cinta yang nyaring kalau ia menggaung dalam ruang kepribadian yang ulet.

Ulet. Pribadi yang ulet. Itu semua tentang daya tahan untuk terus memberi dan kemampuan untuk terus bertumbuh.

Keuletan adalah ciri pribadi yang kuat dan kokoh. Kerja-kerja batin dalam suatu tindakan cinta seperti memperhatikan, menumbuhkan, merawat dan melindungi hanya mungkin dilakukan oleh jiwa-jiwa yang ulet: jiwa-jiwa yang selalu mampu menembus ketidakmungkinan, jiwa-jiwa yang selalu sanggup melawan kebosanan, jiwa-jiwa yang selalu bisa memecahkan kebekuan dan kemalasan, jiwa-jiwa yang selalu dapat mengalahkan kelelahannya sendiri.

Menjadi ulet adalah karakter utama yang diperlukan untuk menjadi pencinta sejati. Menumbuhkan dan merawat suatu hubungan jangka panjang, katakanlah sampai dua puluh lima atau lima puluh tahun, tentu saja membutuhkan daya tahan mental dan kemampuan untuk mempertahankan produktivitas hidup yang tinggi.

Lihatlah berapa lama waktu yang diperlukan para nabi untuk menyampaikan dakwahnya dengan hasil yang tidak dapat dipastikan? Lihatlah berapa lama waktu yang diperlukan para pemimpin bangsa untuk membangun bangsanya? Dalam kehidupan keluarga yang berlangsung hingga seperempat atau setengah abad, bagaimanakah kita mempertahankan kehangatan emosi melalui perhatian, penumbuhan, perawatan dan perlindungan terus menerus?

Keuletan adalah kesabaran pada maknanya yang progresif. Di sini bertahan tidak berarti berhenti. Di sini menanti tidak berarti melamun. Di sini mengalah tidak berarti mundur. Ulet adalah kata tentang geliat tanpa henti. Ulet adalah kata tentang pergerakan jiwa dalam dunia kebajikan yang tak selesai.

Jika ada latihan paling berat untuk menjadi pencinta sejati, maka inilah dia latihan itu: melatih jiwa menjadi ulet, meiatih jiwa untuk tetap dan terus bergerak di tengah semua kesulitan, melatih jiwa melawan kebosanan dan kemalasan serta kelelahan, melatih jiwa melawan kesedihan dan keputusasaan serta ketakutan, melatih jiwa untuk mempertahankan kegembiraan dan keriangan serta kesenangan dalam semua situasi, melatih jiwa untuk tetap produktif daiam semua rintangan, melatih jiwa untuk tetap optimis dan progresif menghadapi waktu.

Tidak mudah memang. Tapi jalan cinta selalu begitu; itu adalah cerita panjang tentang kebajikan yang tak dapat dikalahkan oleh waktu. Para pencinta sejati selalu mampu menembus dinding waktu itu ketika mereka menjeima menjadi pribadi-pribadi yang ulet, yang selalu bergeliat dan bergerak dalam kebajikan tanpa henti. Tidak mudah memang.

Tapi jalan cinta selalu begitu.