Senin, 03 Agustus 2009

KRISIS UMAT DAN CELAH PEMBEBASAN

Apakah yang dilakukan sebuah ummat, ketika krisis menjadi hantu besar yang
melingkupi semua sisi kebaikannya? Apakah yang mungkin dilakukan sebuah ummat,
ketika sejarah menjadi begitu pelit untuk membuka pintu-pintu rumahnya, bagi umat itu
untuk berteduh dari keterhimpitan yang menyengat tubuhnya? Apakah yang mungkin
dilakukan sebuah ummat, ketika semua umat memusuhinya, dan apa yang ada hanya
dirinya, sementara realitas dirinya sendiri justru menjadi anak panah di busur
musuhnya?
Pertanyaan seperti ini seringkali hinggap dalam benak kita, para du’at dan
Mushlihin. Dalam keadaan tanpa jawaban, sering pula kita kehilangan kesesimbangan jiwa, sesuatu yang kemudian menimbulkan rasa tidak berdaya (al’-ajz) dan merasa
seakan realita dan tantangan lebih besar dari kapasitas internal kita menjawabnya,
apalagi menyelesaikannya. Yang lebih parah lagi, rasa tidak berdaya itu kadang sampai
begitu kuat, sehingga tanpa sadar kita bersikap negatif terhadap problema yang
melingkupi kita, untuk kemudian mencoba melakukan langkah ‘pengunduran diri’ dari
gelanggang kehidupan sosial (al-insihab al-ijtima’i). Terkadang pengunduran diri ini
disertai sejumlah pembenaran rasional, setelah rasa tidak berdaya itu mendorong kita
mempertanyakan beberapa aksioma ideologi dan prinsip perjuangan, yang mungkin
dianggap terlalu ideal dan tidak mungkin dipertemukan dengan realita? Beginilah
misalnya, kekalahan-kekalahan politik mendorong Nurcholish untuk menelorkan ide
‘Islam Yes, Partai Islam No’ pada tahun 1970-an.
Sesungguhnya itu tidak perlu terjadi, kalau saja kita mau merenungi kembali,
bagaimana Allah SWT dalam Al Qur’an telah membuka begitu banyak celah
pembebasan yang dibuka Allah SWT kepada kita, saat semua jalan masuk ke rumah
sejarah telah tertutup.
Pertama, harapan. Harapan adalah matahari di langit jiwa. Tak ada sesuatu yang
sangat kita butuhkan saat reruntuhan kekalahan menghimpit jiwa kita, selain harapan
yang dapat mengembalikan rasa percaya diri kita untuk bangkit kembali. Begitulah Allah
SWT mengembalikan harapan itu ke dalam jiwa sahabat-sahabat Rasulullah SAW,
setelah kekalahan pada perang Uhud.
Allah SWT berfirman,
“Dan janganlah kamu merasa hina dan bersedih, sebab kamulah yang lebih
tinggi (unggul) jika kamu beriman. Jika kamu tersentuh luka (musibah), maka luka
(musibah) yang sama juga menimpa kaum yang lain. Dan begitulah hari-hari
(kemenangan) kami pergilirkan diantara manusia.” (QS. Ali Imran : 140)
Dalam keadaan selemah apapun juga, ketika kita mendengar pernyataan sakral
seperti itu, pasti ia akan mengembalikan kekuatan jiwa kita untuk melakukan lompatan
ulang dalam sejarah. Pada ayat diatas, Allah SWT tidak sekedar memberi harapan, tapi
juga menambah kekuatan harapan itu dengan membuka celah sejarah melalaui hokum
‘siklus menang-kalah’ dalam sejarah peradaban manusia sepanjang zaman.
Bahwa kekalahan dalam hukum itu, tidak boleh menjadi titik awal menuju
kepunahan historis. Selalu ada kesempatan untuk memperbaiki kesalahan pada
lompatan awal, kedua, atau ketiga, dalam perjalanan sejarah. Watak sejarah, dengan
begitu tidaklah niscaya (deter-minant), sebagaimana manusia yang tumbuh dari kecil, besar, tua, lalu mati. Sunnatut tadawul (hukum perputaran) itu memungkinkan ketuaan
untuk sebuah peradaban dijungkirbalik menjadi kemudaan, sekaligus menghentikan,
secara tiba-tiba, arus realitas ketuaan berjalan menuju muara kematian historis.
Kedua, taghyirul dzat (merubah diri). Bila celah sejarah pertama tadi meupakan
celah ekstrem, maka celah sejarah kedua ini merupakan celah interen. Ada syarat-
syarat internal yang harus dipenuhi untuk dapat memanfaatkan peluang historis
tersebut. Yaitu merubah seluruh instrument kepribadian kita, mulai dari bagian terkecil,
diri, hingga bagian terbesar, masyarakat. Pada diri pun dimulai dari instrument yang
paling halus; hati, perasaan, emosi, akal hingga raga.
Allah SWT berfirman,
“Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaaan suatu kaum, kecuali bila
kaum itu yang merubah apa-apa yang ada dalam dirinya.” (Q.S. Ar-Ra’du, 14-11).
Sesungguhnya pada dua celah sejarah ini, tersimpan kunci dinamika gerak
sejarah kehidupan manusia, yang tak pernah mati hingga kiamat. Ini adalah
‘kemungkinan-kemungkinan’ yang dijadikan Allah SWT sebagai peluang bagi kita untuk
hadir kembali di gelanggang sejarah. Masalahnya, maukah kita memanfaatkan peluang
itu?

KELUARGA PAHLAWAN

Perenungan yang mendalam terhadap sejarah akan mempertemukan kita dengan satu
kenyataan besar; bahwa sejarah sesungguhnya merupakan industri para pahlawan.
Pada skala peradaban, kita menemukan, bahwa setiap bangsa mempunyai giliran
merebut piala kepahlawanan. Di dalam komunitas besar sebuah bangsa, kita juga
menemukan bahwa suku-suku tertentu saling bergiliran merebut piala kepahlawanan.
Dan dalam komunitas suku-suku itu, kita menemukan, bahwa keluarga-keluarga atau
klan-klan tertentu saling bergiliran merebut piala kepahlawanan itu.
Bangsa Arab, misalnya, pemah merebut piala peradaban. Tapi dari sekian banyak suku-
suku bangsa Arab, suku Quraisy adalah salah satu yang pemah merebut piala itu. Dan
dari perut suku Quraisy, keluarga Bani Hasyim, darimana Rasulullah SAW berasal,
adalah salah satu klan yang pemah merebut piala itu.
Pada saat sebuah Marga atau klan melahirkan pahlawan-pahlawan bagi suku atau
bangsanya, biasanya dalam keluarga itu berkembang nilai-nilai kepahlawan yang luhur,
yang diserap secara natural oleh setiap anggota keluarga begitu ia mulai menghisap
udara kehidupan. Kepahlawanan dalam klan para pahlawan biasanya terwariskan
melalui faktor genetik, dan juga pewarisan atau sosialisasi nilai-nilai kepahlawanan itu.
Apabila seorang pahlawan besar muncul dari sebuah keluarga, biasanya pahlawan itu
secara genetis mengumpulkan semua kebaikan yang berserakan pada individu-individu
yang ada dalam keluarganya.
Khalid Bin Walid, misalnya, muncul dari sebuah klan besar yang bemama Bani
Makhzum. Beberapa saudaranya bahkan lebih dulu masuk Islam dan cukup berjasa
bagi Islam. Tapi kebaikan-kebaikan yang berserakan pada saudara-saudaranya justru
berkumpul dalam dirinya. Maka jadilah ia yang terbesar. Umar Bin Khattab juga berasal
dari klan yang sama dengan Khalid Bin Walid. Umar juga mengumpulkan kebaikan-kebaikan yang berserakan di tengah individu-individu keluarganya. Maka jadilah ia yang
terbesar.
Tetapi diantara Khalid dan Umar terdapat kesamaan-kesamaan yang menonjol.
Keduanya memiliki kesamaan pada bangunan fisik yang tinggi dan besar, serta wajah
yang sangat mirip. Lebih dari itu kedua pahlawan mukmin sejati itu juga memiliki
bangunan katakter yang sama, yaitu keprajuritan. Mereka berdua sama-sama
berkarakter sebagai prajurit militer.
Pahlawan-pahlawan musyrikin Quraisy yang berasal dari klan Bani Makhzum juga
memiliki kemiripan dengan Umardan Khalid. Misalnya, Abu jahal. Bahkan putera Abu
Jahalyang bemama Ikrimah bin Abi Jahal, sempatmemimpin pasukan musyrikin Quraisy
dalam beberapa peperangan melawan kaum muslimin, sebelum akhimya memeluk
Islam. Kenyataan yang sama seperti ini juga terjadi pada keluarga-keluarga ilmuwan
atau ulama, pemimpin politik atau sosial, keluarga pengusaha, dan seterusnya.
Keluarga adalah muara tempat calon-calon pahlawan menemukan ruang
pertumbuhannya.
Walaupun tetap menyisakan perbedaan pada kecenderungannya, Abbas Mahmud AI-
Aqqad, yang menulis biografi kedua pahlawan jenius itu, mengatakan bahwa
keprajuritan pada Umar bersifat pembelaan, tapi pada Khalid bersifat agresif. Agaknya
ini pula yang menjelaskan, mengapa Khalid lebih tepat memimpin pasukan ekspansi,
dan Umar lebih cocok memimpin negara. Pada kedua fungsi itu kecenderungan pada
garis karakter keduanya terserap secara penuh, maka mereka masing-masing mencapai
puncak.

KEMANJAAN

Jika kita hanya membaca biografi pahlawan, atau mendengar cerita kepahlawanan dari
seseorang yang belum pernah kita lihat, barangkali imajinasi yang tersusun dalam
benak kita tentang pahlawan itu akan berbeda dengan kenyataannya. Itu berlaku untuk
lukisan fisiknya, juga untuk lukisan emosionalnya.
Abu hasan Ali Al-Halani Al-Nadwi, yang tinggal di anak benua India, telah membaca
tulisan-tulisan Sayyid Quthub, yang tinggal di Mesir. Tulisan –tulisannya memuat
gagasan-gagasan yang kuat, solid, atraktif, berani dan terasa sangat keras. Barangkali
bukan merupakan suatu kesalahan apabila dengan tanpa alasan kita membuat korelasi
antara tulisan–tulisan itu dengan postur tubuh Sayyid Quthub. Penulisnya, seperti juga
tulisannya, pastilah seorang laki-laki bertubuh kekar, tinggi dan besar. Itulah kesan yang
terbentuk dalam benak Al Nadwi. Tapi ketika ia berkunjung ke Mesir , ternyata ia
menemukan seorang laki-laki dengan perawakan yang kurus, ceking dan jelas tidak
kekar. Begitu juga dengan potret emosi seorang pahlawan. Kadang–kadang ketegaran
dan keberanian para pahlawan membuat kita berpikir bahwa mereka sama sekali tidak
mempunyai sisi-sisi lain dalam dirinya, yang lebih mirip dengan sisi-sisi kepribadian
orang-orang biasa. Misalnya, kebutuhan akan kemanjaan.
Umar bin khattab mengajar sesuatu yang lain ketika beliau mengatakan : “jadilah
engkau seperti seorang bocah didepan istrimu”. Laki-laki dengan postur tubuh yang
tinggi, besar, putih dan botak itu yang dikenal keras, tegas, berani dan tegar, ternyata
senang bersikap manja didepan istrinya. Mungkin bukan cuma Umar. Sebab Rasulullah
SAW, ternyata juga melakukan hal yang sama. Adalah Khadijah tempat ia kembali saat
kecemasan dan ketakutan melandanya setelah menerima wahyu pertama. Maka
kebesaran jiwa Khadijah yang senantiasa beliau kenang dan yang memberikan tempat
paling istimewa bagi perempuan itu dalam hatinya, bahkan setelah beliau menikahi
seorang Aisyah. Tapi beliau juga sering berbaring dalam pangkuan Aisyah untuk disisiri
rambutnya, bahkan ketika beliau sedang i’tikaf dibulan Ramadhan.
Itu mengajarkan kita sebuah kaidah, bahwa para pahlawan mukmin sejati telah
menggunakan segenap energi jiwanya untuk dapat mengukir legenda
kepahlawanannya. Tapi untuk itu mereka membutuhkan suplai energi kembali. Dan
untuk sebagiannya, itu berasal dari kelembutan dan kebesaran jiwa sang istri. Kemanjaan itu, dengan begitu, barangkali memang merupakan cara para pahlawan
tersebut memenuhi kebutuhan jiwa mereka akan ketegaran, keberanian, ketegasan dan
kerja-kerja emosi lainnya.
Kepahlawanan membutuhkan energi jiwa yang dasyat, maka para pahlwan harus
mengetahui dari mana mereka mendapatkan sumber energi itu. Petuah ini agaknya tidak
pernah salah : “Dibalik setiap laki-laki agung, selalu berdiri wanita agung” dan
mengertilah kita, mengapa sastrawan besar besar Mesir ini, Musthafa Shadiq Al Rafii,
mengatakan “kekuatan seorang wanita sesungguhnya tersimpan dibalik kelemahannya” .

BIAR KUNCUPNYA MEKAR JADI BUNGA

Ternyata obrolan kita tentang cinta belum selesai. Saya telah menyatakan sebelumnya
betapa penting peranan kata itu dalam mengekspresikan kata cinta. Tapi itu bukan satu-
satunya bentuk ekspresi cinta.
Cinta merupakan sebentuk emosi manusiawi. Karena itu ia bersifat fluktuatif naik turun
mengikuti semua anasir di dalam dan di luar di diri manusia yang mempengaruhinya.
Itulah sebabnya saya juga mengatakan, mempertahankan dan merawat rasa cinta
sesungguhnya jauh lebih sulit dari sekedar menumbuhkannya.
Jadi obrolan kita belum selesai. Walaupun begitu, saya juga tidak merasakan adanya
urgensi utk menjawab pertanyaan ini : apa itu cinta ?
Itu terlalu filosofis. Saya lebih suka menjawab pertanyaan ini : bagaimana seharusnya
anda mencintai ? pertanyaan ini melekat erat dalam kehidupan individu kita.
Cinta itu bunga; bunga yang tumbuh mekar dalam taman hati kita. Taman itu adalah
kebenaran. Apa yg dengan kuat menumbuhkan, mengembangkan, dan memekarkan bunga-bunga adalah air dan matahari. Air dan matahari adalah
kebaikan. Air memberinya kesejukan dan ketenangan, tapi matahari memberinya gelora
kehidupan. Cinta, dengan begitu, merupakan dinamika yg bergulir
secara sadar di atas latar wadah perasaan kita
Maka begitulah seharusnya anda mencintai; menyejukkan, menenangkan,
namun juga menggelorakan. Dan semua makna itu terangkum dalam kata ini :
menghidupkan. Anda mungkin dekat dengan peristiwa ini ; bagaimana istri
anda melahirkan seorang bayi, lalu merawatnya, dan menumbuhkannya,
mengembangkannya serta menjaganya. Ia dengan tulus berusaha memberinya
kehidupan.
Bila anda ingin mencintai dengan kuat, maka anda harus mampu memperhatikan
dengan baik, menerimanya apa adanya dengan tulus, lalu berusaha
mengembangkannya semaksimal mungkin, kemudian merawatnya..menjaganya dengan
sabar. Itulah rangkaian kerja besar para pecinta; pengenalan, penerimaan,
pengembangan dan perawatan.
Apakah anda telah mengenal isteri anda dengan seksama? Apakah anda mengetahui
dengan baik titik kekuatan dan kelemahannya? Apakah anda mengenal kecenderungan-
kecenderungannya? Apakah anda mengenal pola-pola ungkapannya; melalui
pemaknaan khusus dalam penggunaan kata, melalui gerak motorik refleksinya, melalui
isyarat rona wajahnya, melalui tatapannya, melalui sudut matanya?
Apakah anda dapat merasakan getaran jiwanya, saat ia suka dan saat ia benci, saat ia
takut dan begitu membutuhkan perlindungan? Apakah anda dapat melihat gelombang-
gelombang mimpi-mimpinya,harapan-harapannya?
Sekarang perhatikanlah bagaimana tingkat pengenalan Rosululloh saw
terhadap istrinya, Aisyah. Suatu waktu beliau berkata, ” Wahai Aisyah, aku tahu
kapan saatnya kamu ridha dan kapan saatnya kamu marah padaku. Jika kamu
ridha, maka kamu akan memanggilku dengan sebutan : Ya Rosulullah ! tapi jika
kamu marah padaku, kamu akan memanggilku dengan sebutan ” Ya Muhammad”.
Apakah beda antara Rosululloh dan Muhammad kalau toh obyeknya itu-itu saja ?
Tapi Aisyah telah memberikan pemaknaan khusus ketika ia menggunakan kata
yang satu pada situasi jiwa yang lain.
Pengenalan yang baik harus disertai penerimaan yang utuh. Anda harus mampu
menerimanya apa adanya. Apa yang sering menghambat dlm proses penerimaan
total itu adalah pengenalan yang tidak utuh atau “obsesi” yang berlebihan terhadap fisik. Anda tidak akan pernah dapat mencintai seseorang secara kuat dan dalam kecuali jika
anda dapat menerima apa adanya. Dan ini tidak selalu berarti bahwa anda menyukai
kekurangan dan kelemahannya. Ini lebih berarti bahwa kelemahan dan kekurangan
bukanlah kondisi akhir kepribadiannya, dan selalu ada peluang
untuk berubah dan berkembang. Dengan perasaan itulah seorang ibu melihat bayinya.
Apakah yg ia harap dari bayi kecil itu ketika ia merawatnya, menjaganya, dan
menumbuhkannya? Apakah ia yakin bahwa kelak anak itu akan membalas
kebaikannya? Tidak. Semua yg ada dlm jiwanya adalah keyakinan bahwa bayi ini punya
peluang utk berubah dan berkembang.
Dan karenanya ia menyimpan harapan besar dlm hatinya bahwa kelak hari-hari jugalah
yg akan menjadikan segalanya lebih baik. Penerimaan positif itulah yang mengantar kita
pada kerja mencintai selanjutnya ; pengembangan.
Pada mulanya seorang wanita adalah kuncup yg tertutup. Ketika ia memasuki
rumah anda, memasuki wilayah kekuasaan anda, menjadi istri anda, menjadi
ibu anak-anak anda; Andalah yg bertugas membuka kelopak kuncup itu, meniup
nya perlahan, agar ia mekar menjadi bunga. Andalah yg harus menyirami bunga
itu dengan air kebaikan, membuka semua pintu hati anda baginya, agar ia dapat
menikmati cahaya matahari yg akan memberinya gelora kehidupan. Hanya dengan
kebaikanlah bunga-bunga cinta bersemi.
Dan ungkapan “Aku Cinta Kamu” boleh jadi akan kehilangan makna ketika ia dikelilingi
perlakuan yang tidak simpatik dan mengembangkan.
Apa yg harus anda berikan kepada istri anda adalah peluang utk berkembang,
keberanian menyaksikan perkembangannya tanpa harus merasa superioritas anda
terganggu. Ini tidak berarti anda harus memberi semua yang ia senangi, tapi berikanlah
apa yg ia butuhkan.
Tetapi setiap perkembangan harus tetap berjalan dlm keseimbangan.
Dan inilah fungsi perawatan dari rasa cinta. Tidak boleh ada perkembangan yang
mengganggu posisi dan komunikasi. Itulah sebabnya terkadang anda perlu
memotong sejumlah yg sudah kepanjangan agar tetap terlihat serasi dan harmoni.
Hidup adalah simponi yg kita mainkan dengan indah.
Maka, duduklah sejenak bersama dengan istri anda, tatap matanya lamat-lamat,
dengarkan suara batinnya, getaran nuraninya, dan diam-diam bertanyalah pada diri
sendiri : Apakah ia telah menjadi lebih baik sejak hidup bersama dengan anda?
Mungkinkah suatu saat ia akan mengucapkan puisi Iqbal tentang gurunya : DAN NAFAS CINTANYA MENIUP KUNCUPKU…
MAKA IA MEKAR MENJADI BUNGA…

AKHIR SEJARAH CINTA KITA

Suatu saat dalam sejarah cinta kita
Kita tidur saling memunggungi
Tapi jiwa berpeluk-peluk
Senyum mendekap senyum
Suatu saat dalam sejarah cinta kita
Raga tak lagi saling membutuhkan Hanya Jiwa Kita sudah lekat menyatu
Rindu mengelus rindu
Suatu saat dalam sejarah cinta kita
Kita hanya mengisi waktu dengan cerita kita
Mengenang dan hanya itu
Yang kita punya
Suatu saat dalam sejarah cinta kita
Kita mengenang masa depan kebersamaan
Kemana cinta kan berakhir
Disaat tak ada akhir
Yaaa… Teruslah merayakan cinta hingga sejarah cinta kita, dimana cinta kan berakhir
disaat tak ada akhir.
Baarakallahu laka, wa Baarakallahu ‘alaika wa Jama’a bainakumaa fii khaiir…

CINTA di ATAS CINTA

Perempuan oh perempuan! Pengalaman bathin para pahlawan dengan mereka ternyata
jauh lebih rumit dari yang kita bayangkan. Apa yang terjadi, misalnya jika kenangan
cinta hadir kembali di jalan pertaubatan seorang pahlawan? Keagungan!
Itulah, misalnya, pengalaman bathin Umar bin Abdul Aziz. Sebenarnya Umar seorang
ulama, bahkan seorang mujtahid. Tapi ia dibesarkan di lingkungan istana Bani
Umayyah, hidup dengan gaya hidup mereka, bukan gaya hidup seorang ulama. Ia
bahkan menjadi trendsetter di lingkungan keluarga kerajaan. Shalat jamaah kadang
ditunda karena ia masih sedang menyisir rambutnya.
Tapi, begitu ia menjadi khalifah, tiba-tiba kesadaran spiritualnya justru tumbuh
mendadak pada detik inagurasi nya. Iapun bertaubat. Sejak itu ia bertekad untuk
berubah dan merubah dinasti Bani Umayyah. Aku takut pada neraka katanya
menjelaskan rahasia perubahan itu kepada seorang ulama terbesar zamannya, pionir
kodifikasi hadits, yang duduk di sampingnya, Al Zuhri.
Ia memulai perubahan besar itu dari dari dalam dirinya sendiri, istri, anak-anaknya,
keluarga kerajaan, hingga seluruh rakyatnya. Kerja keras ini membuahkan hasil; walaupun hanya memerintah dalam 2 tahun 5 bulan, tapi ia berhasil menggelar
keadilan, kemakmuran dan kejayaan serta nuansa kehidupan zaman Khulafa Rasyidin.
Maka iapun digelari Khalifah Rasyidin kelima.
Tapi itu ada harganya. Fisiknya segera anjlok. Saat itulah istrinya datang membawa
kejutan besar; menghadiahkan seorang gadis kepada suaminya untuk dinikahinya (lagi).
Ironis, karena Umar sudah lama mencintai dan sangat menginginkan gadis itu, juga
sebaliknya. Tapi istrinya, Fatimah, tidak pernah mengizinkannya; atas nama cinta dan
cemburu. Sekarang justru sang istrilah yang membawanya sebagai hadiah. Fatimah
hanya ingin memberikan dukungan moril kepada suaminya.
Itu saat terindah dalam hidup Umar, sekaligus saat paling mengharu- biru. Kenangan
romantika sebelum saat perubahan bangkit kembali, dan menyalakan api cinta yang
dulu pernah membakar segenap jiwanya. Tapi saat cinta ini hadir di jalan
pertaubatannya, ketika cita-cita perubahannya belum selesai.
Cinta dan cita bertemu atau bertarung, di sini, di pelataran hati Sang Khalifah, Sang
Pembaru. Apa yang salah kalau Umar menikahi gadis itu? Tidak ada! Tapi, Tidak! Ini
tidak boleh terjadi. Saya benar-benar tidak merubah diri saya kalau saya masih harus
kembali ke dunia perasaan semacam ini, Kata Umar.
Cinta yang terbelah dan tersublimasi diantara kesadaran psiko-spiritual, berujung
dengan keagungan; Umar memenangkan cinta yang lain, karena memang ada cinta di
atas cinta! Akhirnya ia menikahkan gadis itu dengan pemuda lain.
Tidak ada cinta yang mati di sini. Karena sebelum meninggalkan rumah Umar, gadis itu
bertanya dengan sendu, Umar, dulu kamu pernah sangat mencintaiku. Tapi kemanakah
cinta itu sekarang? Umar bergetar haru, tapi ia kemudian menjawab, Cinta itu masih
tetap ada, bahkan kini rasanya jauh lebih dalam!

TRAGEDI CINTA

Ada sisi lain yang menarik dari pengalaman emosional para pahlawan yang
berhubungan dengan perempuan. Kalau kebutuhan psikologis dan bilogis terhadap
perempuan begitu kuat pada para pahlawan, dapatkah kita membayangkan seandainya
mereka tidak mendapatkannya?

Rumah tangga para pahlawan selalu menampilkan, atau bahkan menjelaskan, banyak
sisi dari kepribadian para pahlawan. Dari sanalah mereka memperoleh energi untuk
bekerja dan berkarya. Tapi jika mereka tidak mendapatkan sumber energi itu, maka
kepahlawanan mereka adalah keajaiban di atas keajaiban. Tentulah ada sumber energi
lain yang dapat menutupi kekurangan itu, yang dapat menjelaskan kepahlawanan
mereka.

Ibnu Qoyyim menceritakan kisah Sang Imam, Muhammad bin Daud Al Zhahiri, pendiri
mazhab Zhahiriyah. Beberapa saat menjelang wafatnya, seorang kawan menjenguk
beliau. Tapi justru Sang Imam mencurahkan isi hatinya, kepada sang kawan, tentang
kisah kasihnya yang tak sampai. Ternyata beliau mencintai seorang gadis tetangganya,
tapi entah bagaimana, cinta suci dan luhur itu tak pernah tersambung jadi kenyataan.
Maka curahan hatinya tumpah ruah dalam bait-bait puisi sebelum wafatnya.

Kisah Sayyid Quthub bahkan lebih tragis. Dua kalinya ia jatuh cinta, dua kali ia patah
hati, kata DR. Abdul Fattah Al-Khalidi yang menulis tesis master dan disertasi doktornya
tentang Sayyid Quthub. Gadis pertama berasal dari desanya sendiri, yang kemudian
menikah hanya tiga tahun setelah Sayyid Quthub pergi ke Kairo untuk belajar. Sayyid
menangisi peristiwa itu.

Gadis kedua berasal dari Kairo. Untuk ukuran Mesir, gadis itu tidak termasuk cantik,
kata Sayyid. Tapi ada gelombang yang unik yang menyirat dari sorot matanya, katanya
menjelaskan pesona sang kekasih. Tragedinya justru terjadi pada hari pertunangan.
Sambil menangis gadis itu menceritakan bahwa Sayyid adalah orang kedua yang telah
hadir dalam hatinya. Pengakuan itu meruntuhkan keangkuhan Sayyid; karena ia
memimpikan seorang yang perawan fisiknya, perawan pula hatinya. Gadis itu hanya
perawan pada fisiknya.
Sayyid Quthub tenggelam pada penderitaan yang panjang. Akhirnya ia memutuskan
hubungannya. Tapi itu membuatnya semakin menderita. Ketika ia ingin rujuk, gadis itu
justru menolaknya. Ada banyak puisi yang lahir dari penderitaan itu. Ia bahkan
membukukan romansa itu dalam sebuah roman.

Kebesaran jiwa, yang lahir dari rasionalitas, relaisme dan sangkaan baik kepada Allah,
adalah keajaiban yang menciptakan keajaiban. Ketika kehidupan tidak cukup bermurah
hati mewujudkan mimpi mereka, mereka menambatkan harapan kepada sumber segala
harapan; Allah!

Begitu Sayyid Quthub menyaksikan mimpinya hancur berkeping-keping, sembari
berkata, “Apakah kehidupan memang tidak menyediakan gadis impianku, atau
perkawinan pada dasarnya tidak sesuai dengan kondisiku?” Setelah itu ia berlari meraih
takdirnya; dipenjara 15 tahun, menulis Fi Dzilalil Qur’an, dan mati di tiang gantungan!
Sendiri! Hanya sendiri!

Aku Memanggil Kalian.....


Berkali-kali aku memanggilnya,

Berkali-kali aku menyebutnya,

Berkali-kali

Berkali-kali

Muhammad,

Ya Muhammad,

Sang Kekasih

Rahasia Cinta

Ruh Kasih

(Emha Ainun Nadjib)

Sahabat, apa kabar semuanya? Mudah-mudahan engkau diberikan limpahan kasih sayang Nya yang tak berhingga. Aamiin. Saya ingin meminjam waktumu sebentar. Ada seseorang yang ingin bertutur kepada kita. Ada seseorang yang ingin mengisahkan selaksa kehidupan yang mungkin sering kita dengar. Beginilah lantunannya. Simak baik-baik ya… Mudah-mudahan bermanfaat.

Bismillah, Assalamu’alaikum….

Perkenalkan!

Namaku Bilal. Ayahku bernama Rabah, seorang budak dari Abesinia, oleh karena itu nama panjangku Bilal Bin Rabah. Aku tidak tahu mengapakah Ayah dan Ibuku sampai di sini, Makkah. Sebuah tempat yang hanya memiliki benderang matahari, hamparan sahara dan sedikit pepohonan. Aku seorang budak yang menjadi milik tuannya. Umayyah, biasa tuan saya itu dipanggil. Seorang bangsawan Quraisy, yang hanya peduli pada harta dan kefanaan. Setiap jeda, aku harus bersiap kapan saja dilontarkan perintah. Jika tidak, ada cambuk yang menanti akan mendera bagian tubuh manapun yang disukainya.

Setiap waktu adalah sama, semua hari juga serupa tak ada bedanya, yakni melayani majikan dengan sempurna. Hingga suatu hari aku mendengar seseorang menyebutkan nama Muhammad. Tadinya aku tak peduli, namun kabar yang ku dengar membuatku selalu memasang telinga baik-baik. Muhammad, mengajarkan agama baru yaitu menyembah Tuhan yang maha tunggal. Tidak ada tuhan yang lain. Aku tertarik dan akhirnya, aku bersyahadat diam-diam.

Namun, pada suatu hari majikanku mengetahuinya. Aku sudah tahu kelanjutannya. Mereka memancangku di atas pasir sahara yang membara. Matahari begitu terik, seakan belum cukup, sebuah batu besar menindih dada ini. Mereka mengira aku akan segera menyerah. Haus seketika berkunjung, ingin sekali minum. Aku memintanya pada salah seorang dari mereka, dan mereka membalasnya dengan lecutan cemeti berkali-kali. Setiap mereka memintaku mengingkari Muhammad, aku hanya berucap “Ahad... ahad”. Batu diatas dada mengurangi kemampuanku berbicara sempurna. Hingga suatu saat, seseorang menolongku, Abu Bakar menebusku dengan uang sebesar yang Umayyah minta. Aku pingsan, tak lagi tahu apa yang terjadi.

Segera setelah sadar, aku dipapah Abu Bakar menuju sebuah tempat tinggal Nabi Muhammad. Kakiku sakit tak terperi, badanku hampir tak bisa tegak. Ingin sekali rubuh, namun Abu Bakar terus membimbingku dengan sayang. Tentu saja aku tak ingin mengecewakannya. Aku harus terus melangkah menjumpai seseorang yang kemudian ku cinta sampai nafas terakhir terhembus dari raga. Aku tiba di depan rumahnya. Ada dua sosok disana. Yang pertama adalah Ali bin Abi Thalib sepupunya yang masih sangat muda dan yang di sampingnya adalah dia, Muhammad.

Muhammad, aku memandangnya lekat, tak ingin mata ini berpaling. Ku terpesona, jatuh cinta, dan merasakan nafas yang tertahan dipangkal tenggorokan. Wajahnya melebihi rembulan yang menggantung di angkasa pada malam-malam yang sering ku pandangi saat istirahat menjelang. Matanya jelita menatapku hangat. Badannya tidak terlalu tinggi tidak juga terlau pendek. Dia adalah seorang yang jika menoleh maka seluruh badannya juga. Dia menyenyumiku, dan aku semakin mematung, rasakan sebuah aliran sejuk sambangi semua pori-pori yang baru saja dijilati cemeti.

Dia bangkit, dan menyongsongku dengan kegembiraan yang nampak sempurna. Bahkan hampir tidak ku percaya, ada genangan air mata di pelupuk pandangannya. Ali, saat itu bertanya “Apakah orang ini menjahati engkau, hingga engkau menangis”. “Tidak, orang ini bukan penjahat, dia adalah seorang yang telah membuat langit bersuka cita”, demikian Muhammad menjawab. Dengan kedua tangannya, aku direngkuhnya, di peluk dan di dekapnya, lama. Aku tidak tahu harus berbuat apa, yang pasti saat itu aku merasa terbang melayang ringan menjauhi bumi. Belum pernah aku diperlakukan demikian istimewa.

Selanjutnya aku dijamu begitu ramah oleh semua penghuni rumah. Ku duduk di sebelah Muhammad, dan karena demikian dekat, ku mampu menghirup wewangi yang harumnya melebihi aroma kesturi dari tegap raganya. Dan ketika tangan Nabi menyentuh tangan ini begitu mesra, aku merasakan semua derita yang mendera sebelum ini seketika terkubur di kedalaman sahara. Sejak saat itu, aku menjadi sahabat Muhammad.

Kau tidak akan pernah tahu, betapa aku sangat beruntung menjadi salah seorang sahabatnya. Itu ku syukuri setiap detik yang menari tak henti. Aku Bilal, yang kini telah merdeka, tak perlu lagi harus berdiri sedangkan tuannya duduk, karena aku sudah berada di sebuah keakraban yang mempesona. Aku, Bilal budak hitam yang terbebas, mereguk setiap waktu dengan limpahan kasih sayang Al-Musthafa. Tak akan ada yang ku inginkan selain hal ini.

Oh iya, aku ingin mengisahkan sebuah pengalaman yang paling membuatku berharga dan mulia. Inginkah kalian mendengarnya?

Di Yathrib, mesjid, tempat kami, umat Rasulullah beribadah telah berdiri. Bangunan ini dibangun dengan bahan-bahan sederhana. Sepanjang hari, kami semua bekerja keras membangunnya dengan cinta, hingga kami tidak pernah merasakan lelah. Nabi memuji hasil kerja kami, senyumannya selalu mengembang menjumpai kami. Ia begitu bahagia, hingga selalu menepuk setiap pundak kami sebagai tanda bahwa ia begitu berterima kasih. Tentu saja kami melambung.

Kami semua berkumpul, meski mesjid telah selesai dibangun, namun terasa masih ada yang kurang. Ali mengatakan bahwa mesjid membutuhkan penyeru agar semua muslim dapat mengetahui waktu shalat telah menjelang. Dalam beberapa saat kami terdiam dan berpandangan. Kemudian beberapa sahabat membicarakan cara terbaik untuk memanggil orang-orang.

“Kita dapat menarik bendera” seseorang memberikan pilihan.

“Bendera tidak menghasilkan suara, tidak bisa memanggil mereka”

“Bagaimana jika sebuah genta?”

“Bukankah itu kebiasaan orang Nasrani”

“Jika terompet tanduk?”

“Itu yang digunakan orang Yahudi, bukan?”

Semua yang hadir di sana kembali terdiam, tak ada yang merasa puas dengan pilihan-pilihan yang dibicarakan. Ku lihat Nabi termenung, tak pernah ku saksikan beliau begitu muram. Biasanya wajah itu seperti matahari di setiap waktu, bersinar terang. Sampai suatu ketika, adalah Abdullah Bin Zaid dari kaum Anshar, mendekati Nabi dengan malu-malu. Aku bergeser memberikan tempat kepadanya, karena ku tahu ia ingin menyampaikan sesuatu kepada Nabi secara langsung.

“Wahai, utusan Allah” suaranya perlahan terdengar. Mesjid hening, semua mata beralih pada satu titik. Kami memberikan kepadanya kesempatan untuk berbicara.

“Aku bermimpi, dalam mimpi itu ku dengar suara manusia memanggil kami untuk berdoa...” lanjutnya pasti. Dan saat itu, mendung di wajah Rasulullah perlahan memudar berganti wajah manis berseri-seri. “Mimpimu berasal dari Allah, kita seru manusia untuk mendirikan shalat dengan suara manusia juga….”. Begitu nabi bertutur.

Kami semua sepakat, tapi kemudian kami bertanya-tanya, suara manusia seperti apa, lelakikah?, anak-anak?, suara lembut?, keras? atau melengking? Aku juga sibuk memikirkannya. Sampai kurasakan sesuatu diatas bahuku, ada tangan Al-Musthafa di sana. “Suara mu Bilal” ucap Nabi pasti. Nafasku seperti terhenti.

Kau tidak akan pernah tahu, saat itu aku langsung ingin beranjak menghindarinya, apalagi semua wajah-wajah teduh di dalam mesjid memandangku sepenuh cinta. “Subhanallah, saudaraku, betapa bangganya kau mempunyai sesuatu untuk kau persembahkan kepada Islam” ku dengar suara Zaid dari belakang. Aku semakin tertunduk dan merasakan sesuatu bergemuruh di dalam dada. “Suaramu paling bagus duhai hamba Allah, gunakanlah” perintah nabi kembali terdengar. Pujian itu terdengar tulus. Dan dengan memberanikan diri, ku angkat wajah ini menatap Nabi. Allah, ada senyuman rembulannya untukku. Aku mengangguk.

Akhirnya, kami semua keluar dari mesjid. Nabi berjalan paling depan, dan bagai anak kecil aku mengikutinya. “Naiklah ke sana, dan panggillah mereka di ketinggian itu” Nabi mengarahkan telunjuknya ke sebuah atap rumah kepunyaan wanita dari Banu’n Najjar, dekat mesjid. Dengan semangat, ku naiki atap itu, namun sayang kepalaku kosong, aku tidak tahu panggilan seperti apa yang harus ku kumandangkan. Aku terdiam lama.

Di bawah, ku lihat wajah-wajah menengadah. Wajah-wajah yang memberiku semangat, menelusupkan banyak harapan. Mereka memandangku, mengharapkan sesuatu keluar dari bibir ini. Berada diketinggian sering memusingkan kepala, dan ku lihat wajah-wajah itu tak mengharapkan ku jatuh. Lalu ku cari sosok Nabi, ada Abu Bakar dan Umar di sampingnya. “Ya Rasul Allah, apa yang harus ku ucapkan?” Aku memohon petunjuknya. Dan kudengar suaranya yang bening membumbung sampai di telinga “ Pujilah Allah, ikrarkan Utusan-Nya, Serulah manusia untuk shalat”. Aku berpaling dan memikirkannya. Aku memohon kepada Allah untuk membimbing ucapanku.

Kemudian, ku pandangi langit megah tak berpenyangga. Lalu di kedalaman suaraku, aku berseru:

Allah Maha Besar. Allah Maha Besar

Aku bersaksi tiada Tuhan Selain Allah

Aku bersaksi bahwa Muhammad Utusan Allah

Marilah Shalat

Marilah Mencapai Kemenangan

Allah Maha Besar. Allah Maha Besar

Tiada Tuhan Selain Allah.

Ku sudahi lantunan. Aku memandang Nabi, dan kau akan melihat saat itu Purnama Madinah itu tengah memandangku bahagia. Ku turuni menara, dan aku disongsong begitu banyak manusia yang berebut memelukku. Dan ketika Nabi berada di hadapan ku, ia berkata “Kau Bilal, telah melengkapi Mesjidku”.

Aku, Bilal, anak seorang budak, berkulit hitam, telah dipercaya menjadi muadzin pertama, oleh Dia, Muhammad, yang telah mengenyahkan begitu banyak penderitaan dari kehidupan yang ku tapaki. Engkau tidak akan pernah tahu, mengajak manusia untuk shalat adalah pekerjaan yang dihargai Nabi begitu tinggi. Aku bersyukur kepada Allah, telah mengaruniaku suara yang indah. Selanjutnya jika tiba waktu shalat, maka suaraku akan memenuhi udara-udara Madinah dan Makkah.

Hingga suatu saat,

Manusia yang paling ku cinta itu dijemput Allah dengan kematian terindahnya. Purnama Madinah tidak akan lagi hadir mengimami kami. Sang penerang telah kembali. Tahukah kau, betapa berat ini ku tanggung sendirian. Aku seperti terperosok ke sebuah sumur yang dalam. Aku menangis pedih, namun aku tahu sampai darah yang keluar dari mata ini, Nabi tak akan pernah kembali. Di pangkuan Aisyah, Nabi memanggil ‘ummatii… ummatiii’ sebelum nafas terakhirnya perlahan hilang. Aku ingat subuh itu, terakhir nabi memohon maaf kepada para sahabatnya, mengingatkan kami untuk senantiasa mencintai kalam Ilahi. Kekasih Allah itu juga mengharapkan kami untuk senantiasa mendirikan shalat. Jika ku kenang lagi, aku semakin ingin menangis. Aku merindukannya, sungguh, betapa menyakitkan ketika senggang yang kupunya pun aku tak dapat lagi mendatanginya.

Sejak kematian nabi, aku sudah tak mampu lagi berseru, kedukaan yang amat membuat ku lemah. Pada kalimat pertama lantunan adzan, aku masih mampu menahan diri, tetapi ketika sampai pada kalimat Muhammad, aku tak sanggup melafalkannya dengan sempurna. Adzanku hanya berisi isak tangis belaka. Aku tak sanggup melafalkan seluruh namanya, ‘Muhammad’. Jangan kau salahkan aku. Aku sudah berusaha, namun, adzanku bukan lagi seruan. Aku hanya menangis di ketinggian, mengenang manusia pilihan yang menyayangiku pertama kali. Dan akhirnya para sahabat memahami kesedihan ini. Mereka tak lagi memintaku untuk berseru.

Sekarang, ingin sekali ku memanggil kalian… memanggil kalian dengan cinta. Jika kalian ingin mendengarkan panggilanku, dengarkan aku, akan ada manusia-manusia pilihan lainnya yang mengumandangkan adzan. Saat itu, anggaplah aku yang memanggil kalian. Karena, sesungguhnya aku sungguh merindui kalian yang bersegera mendirikan shalat.

Alhamdulillah kisahku telah sampai, ku sampaikan salam untuk kalian. Wassalamu’alaikum

Air Mata Rasulullah SAW


Tiba-tiba dari luar pintu terdengar seorang yang berseru mengucapkan salam. "Bolehkah saya masuk?" tanyanya. Tapi Fatimah tidak mengizinkannya masuk, "Maafkanlah, ayahku sedang demam," kata Fatimah yang membalikkan badan dan menutup pintu.

Kemudian ia kembali menemani ayahnya yang ternyata sudah membuka mata dan bertanya pada Fatimah, "Siapakah itu wahai anakku?" "Tak tahulah ayahku, orang sepertinya baru sekali ini aku melihatnya," tutur Fatimah lembut.

Lalu, Rasulullah menatap puterinya itu dengan pandangan yang menggetarkan. Seolah-olah bahagian demi bahagian wajah anaknya itu hendak dikenang. "Ketahuilah, dialah yang menghapuskan kenikmatan sementara, dialah yang memisahkan pertemuan di dunia. Dialah malaikatul maut," kata Rasulullah, Fatimah pun menahan ledakkan tangisnya. Malaikat maut datang menghampiri, tapi Rasulullah menanyakan kenapa Jibril tidak ikut sama menyertainya.

Kemudian dipanggilah Jibril yang sebelumnya sudah bersiap di atas langit dunia menyambut ruh kekasih Allah dan penghulu dunia ini. "Jibril, jelaskan apa hakku nanti di hadapan Allah?" Tanya Rasululllah dengan suara yang amat lemah. "Pintu-pintu langit telah terbuka, para malaikat telah menanti ruhmu. Semua syurga terbuka lebar menanti kedatanganmu," kata Jibril. Tapi itu ternyata tidak membuatkan Rasulullah lega, matanya masih penuh kecemasan.

"Engkau tidak senang mendengar khabar ini?" Tanya Jibril lagi. "Khabarkan kepadaku bagaimana nasib umatku kelak?" "Jangan khawatir, wahai Rasul Allah, aku pernah mendengar Allah berfirman kepadaku: 'Kuharamkan syurga bagi siapa saja, kecuali umat Muhammad telah berada di dalamnya," kata Jibril.

Detik-detik semakin dekat, saatnya Izrail melakukan tugas. Perlahan ruh Rasulullah ditarik. Nampak seluruh tubuh Rasulullah bersimbah peluh, urat-urat lehernya menegang. "Jibril, betapa sakit sakaratul maut ini."

Perlahan Rasulullah mengaduh. Fatimah terpejam, Ali yang di sampingnya menunduk semakin dalam dan Jibril memalingkan muka. "Jijikkah kau melihatku, hingga kau palingkan wajahmu Jibril?" Tanya Rasulullah pada Malaikat pengantar wahyu itu.

"Siapakah yang sanggup, melihat kekasih Allah direnggut ajal," kata Jibril. Sebentar kemudian terdengar Rasulullah mengaduh, karena sakit yang tidak tertahankan lagi.

"Ya Allah, dahsyat nian maut ini, timpakan saja semua siksa maut ini kepadaku, jangan pada umatku. "Badan Rasulullah mulai dingin, kaki dan dadanya sudah tidak bergerak lagi.

Bibirnya bergetar seakan hendak membisikkan sesuatu, Ali segera mendekatkan telinganya. "Uushiikum bis shalati, wa maa malakat aimanukum --peliharalah shalat dan peliharalah orang-orang lemah di antaramu."

Diluar pintu tangis mulai terdengar bersahutan, sahabat saling berpelukan. Fatimah menutupkan tangan di wajahnya, dan Ali kembali mendekatkan telinganya ke bibir Rasulullah yang mulai kebiruan. "Ummatii, ummatii, ummatiii?" - "Umatku, umatku, umatku"

Dan, berakhirlah hidup manusia mulia yang memberi sinaran itu. Kini, mampukah kita mencintai sepertinya? Allahumma sholli 'ala Muhammad wa baarik alaaa wa salim 'alaihi Betapa cintanya Rasulullah kepada kita.

Ada Apa Dengan Cinta


Suatu hari, tiga tahun yang lalu, saya sedang bete berat. Entah mengapa, dunia terasa sempit, sumpek dan menyebalkan. Padahal banyak pekerjaan yang mestinya saya selesaikan. Laporan praktikum yang bertumpuk, makalah-makalah serta seabrek PR dari banyak organisasi yang kebetulan saya ikuti. Dalam perjalanan pulang menuju kost, mata saya tiba-tiba tertumbuk pada sebuah wartel. Tanpa tahu mau menelepon siapa dan untuk apa menelepon, saya dengan linglung memasuki salah satu kabin. Sebuah nomor tiba-tiba terpencet otomatis. 8411063! “Assalamu’alaikum…” sebuah suara yang mendadak terasa merdu terdengar.

Seperti ada suntikan kesegaran yang luar biasa, mendadak semangat saya bangkit. Percakapan yang mengalir begitu saja telah mengubah dunia yang tadinya abu-abu menjadi penuh warna. Pemilik suara itu adalah seorang sahabat yang sangat dekat dengan saya. Meskipun jarang bertemu, kami yakin, ada cinta yang menginspirasikan berbagai ide mulai dari yang sederhana sampai briliyan. Cinta itu yang kami yakini menjadi pemotivator dari setiap langkah yang kian hari kian berat.

Ah, Cinta…

Saya selalu terpana dengan cinta. Membuat pikiran ini dengan susah payah membayangkan seorang Abu Bakar yang tiba-tiba berlari kesana kemari, kadang ke depan, ke samping, lantas tiba-tiba ke belakang rasulullah. Saat itu mereka sedang dalam perjalanan hijrah menuju Madinah. Di belakang, orang-orang kafir Quraisy mengejar, bermaksud membunuh Muhammad SAW. Tentu saja sang nabi terheran-heran. Beliau pun bertanya dan dijawab oleh Abu Bakar, bahwa ketika ia melihat musuh ada di belakang, maka Abu Bakar berlari ke belakang. Jika musuh di depan, Abu Bakar lari ke depan, dan seterusnya. Abu Bakar siap menjadi tameng buat rasulullah. Agar jika ada musuh menyerang, ia lah yang lebih dulu menerimanya.

Itulah cinta. Sama seperti ketika mereka akhirnya kecapekan dan menemukan sebuah gua. Abu Bakar melarang Rasul masuk sebelum ia membersihkan terlebih dulu. Saat membersihkan, Abu Bakar melihat 3 buah lubang. Satu lubang ia tutup dengan sobekan kain bajunya, lalu yang dua ia tutup dengan ibu jari kakinya. Rasul pun tidur di pangkuan Abu Bakar. Pada saat itulah, Abu Bakar merasakan kesakitan yang luar biasa. Ia digigit ular. Namun ia tidak mau membangunkan Rasul dan terus menahan sakit hingga air matanya menetes. Tetesan itu menimpa rasul dan terbangunlah beliau. Berkat mukzizat Rasul, sakit itu pun berhasil disembuhkan. (Sumber, ‘Berkas-berkas Cahaya Kenabian’, Ahmad Muhammad Assyaf).

Ada apa dengan cinta? Kalau Mbak Izzatul Jannah (salah seorang teman dekat juga) menjawab, “ada energi disana”. Saya sepakat dengan pendapat itu. Bukan karena beliau adalah teman dekat, tetapi karena saya telah merasakannya. Dan saya ingin berbagai cahaya dengan kalian.

Cinta Positif vs Cinta Negatif

Jujur, saya mungkin kurang ngeh jika bicara masalah cinta, karena saya belum menikah. (He…he, mohon doanya ya…). Saya pun alhamdulillah belum sempat pacaran, karena Allah keburu ‘menyesatkan’ saya dari jalan kemaksiatan menuju jalan yang terang benderang, jalan yang kita yakini bersama kebenaran dan keindahannya. Namun justru itulah, saya lantas menikmati cinta yang sejati. Lewat para sahabat yang mengantarkan diri ini semakin hari semakin berkarat (maksudnya kadar karatnya makin tinggi, seperti logam mulia itu lho…) alias semakin baik. Serta tidak ketinggalan, cinta kepada sang pemberi kehidupan alias cinta hakiki yang tertinggi.

Seorang sahabat pernah bernasyid di depan saya, menukil sebuah nasyid yang dipopulerkan oleh SNADA.

Ingin kukatakan, arti cinta kepada dirimu dinda

Agar kau mengerti, arti sesungguhnya

Tak akan terlena dan terbawa, alunan bunga asmara

Yang kan membuat dirimu sengsara

Cinta suci luar biasa, rahmat sang pencipta

Kepada semua hamba-hambanya

Jangan pernah kau berpaling dari cinta

Cinta dari sang maha pencipta

Kau pasti tergoda…

Nyanyian itu membuat saya merenung panjang lebar. Yups, ketemu deh. Ada cinta positif, ada juga cinta negatif. Jika cinta adalah energi, maka akan muncul pula energi positif dan energi negatif.

Adanya energi membuat semua terasa ringan. Dengan energi, gampang saja si Edo misalnya, menghajar serombongan preman yang mengusili pacarnya, Dewi. Konon cinta bisa membuat si penakut menjadi pemberani. Dengan energi pula puasa ramadhan terasa begitu indah, meskipun sebulan penuh kita diperintahkan untuk tidak makan dan minum dari terbit hingga terbenam matahari.

Kendali, itu kuncinya

Energi itu akan di dihasilkan oleh reaktor hati, pembedanya adalah faktor pengendali. PLTN adalah sebuah tempat berlangsungnya reaksi nuklir yang terkendali, sehingga energi yang dilepaskan dapat menjadi komponen yang berfungsi untuk manusia. Itu energi positif.

Jika reaksi nuklir tidak terkendali, bayangkanlah ledakan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki yang menewaskan ratusan ribu manusia dan menimbulkan kerugian yang luar biasa. Itu energi negatif.

Karena reaktor tersebut adalah hati, maka semua manusia pasti memilikinya. Positif atau negatif tergantung pada pengendalian manusia tersebut terhadap hati yang dimiliki. Seperti sabda rasulullah SAW :

“Inna fii jasadi mudhghotan Idza sholuhat sholuhal jasadu kulluhu. Waidza fasadat fasadal jasadu kulluhu. Alaa wahiyal qolbu.”

Sesungguhnya dalam jasad ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baiklah seluruhnya. Jika ia rusak, maka rusaklah seluruhnya. Ingatlah bahwa ia adalah hati. (HR Bukhari Muslim).

Cinta Negatif, Apaan tuh?!

Adalah cinta yang dialirkan dari energi tak terkendali. Ini nich, cinta yang merusak. Terlahir dari syubhat dah syahwat. Ngakunya moderat, padahal kuno berat. Bagaimana tidak kuno, cinta yang lahir dari syahwat mulai ada sejak jaman bauhela, bagaimana mungkin orang yang tidak pacaran disebut sebagai ‘ketinggalan jaman?’

Cinta negatif kini telah membanjiri pasaran, menebar kemadhorotan. Remaja gelagapan dan tidak tahu jalan, akhirnya ikut-ikutan. Pacaran, free sex, kumpul kebo, selingkuh… mendadak jadi tren. Secara normatif, semua perempuan tidak mau melihat lelaki yang dicintai ngabuburit dengan perempuan lain. Namun anehnya, ia malah berdandan seseksi mungkin agar lelaki lain tertarik padanya.

Mana bisa kesetiaan dipertahankan jika syahwat dikedepankan?

Mau tahu korban dari cinta negatif? Kerusakan moral. Yap! Survey di Yogyakarta menyebutkan 97,05% mahasiswa di Yogya tidak perawan, Survey itu dilakukan kepada 1660 responden dan hanya 3 orang yang mengaku belum melakukan aktivitas seks termasuk masturbasi! Astaghfirullah. Terlepas dari pro dan kontra tentang kashahihan hasil survey itu, jelas… data yang tercatat menunjukan sebuah ketakutan yang luar biasa bagi para orang tua yang ingin menyekolahkan anaknya ke Yogya.

Cinta negatif telah menjelma menjadi teroris! Bukan hanya cinta yang mengeksploitasi seks, juga cinta kepada tahta dan harta yang membuat manusia berubah menjadi serigala yang sanggup tertawa-tawa ketika mengunyah bangkai rekan sendiri.

Menggapai Cinta Positif

Cinta positif adalah cinta yang frame-nya adalah cinta karena Allah. Cinta kepada Allah sebagai cinta yang hakiki, sedang cinta kepada selain Allah dilaksanakan dalam rangka ketaatan kepada Allah. Jika diatas disebutkan bahwa kata kuncinya adalah ‘kendali hati’, maka jelas, untuk menggapai cinta positif, hati harus pertama kali ditundukan. Jika hati telah ditundukkan maka akan bisa kita kendalikan. Jika hati terkendali, yakin deh, seluruh jasad dan akal kita pun mampu selaras dengan sang panglimanya tersebut.

Bahasa Pena?

Jika cinta adalah energi, maka yang terlahir dari cinta adalah produktivitas. Pena hanya salah satu dari banyak pilihan, tergantung pada potensi masing-masing. Saya memilih pena karena profesi saya adalah seorang penulis. Karena bingkai kecintaan itu adalah cinta kepada Allah, maka saya akan menjadikan tarian pena saya sebagai ekspresi kecintaan kepada Allah. Serupa tapi tak sama akan dialami oleh teman-teman yang mahir dibidang lain, memasak, memprogram komputer dan sebagainya. Bukti cinta itu adalah produktivitas. So, jika kita tidak produktif, berarti tidak ada energi yang menggerakan, yang ujung-ujungnya, kamu tidak punya cinta. Kasiaaan deh Luuu.

Ada apa dengan cinta? Jawabnya : ada energi. Muaranya, produktivitas, optimalisasi potensi. Tentu saja yang kita usahakan adalah cinta positif, sehingga produktivitas yang tercetak adalah produktivitas yang positif pula.