Rabu, 09 September 2009

PENYAIR DAN LEMBAH ITU...

Pasangan yang sedang berasyik masyuk itu sejak awal menyita hampir perhatian
semua penumpang. Mengelilingi selat Bosphorus yang membelas sayap Asia dan
Eropa, Kota Instambul menjelang senja, memang sebuah sensasi romansa. Mereka
terus berpelukan, Dan berciuman. Yang ada hanya kata indah. Senyum. Dan ribuan kebahagiaan. Dunia jadi milik mereka berdua. Dan semua penumpang, termasuk
rombongan adalah penonton setia yang semakin medorong ekshibisi mereka. Ibarat
cawan-cawan anggur yang terus memabukkan orang-orang kasmaran.
Tapi kami semua tiba-tiba tersentak. Begitu wisata bahari sore itu selesai, pasangan itu
turun dari boat sambil bertengkar hebat. Tidak ada yang mengerti di antara kami: apa
asal usul kemesraannya, atau apa pula sebab musabab pertengkarannya.
Tapi yang ada hanya sebuah kaedah sederhana yang bisa disimpulkan : Tidak semua
kata cinta lahir dari cinta, sebab tidak semua yang terkata selalu datang dari jiwa.
Boleh jadi itu sekadar lintasan pikiran yang tak berakar dalam hati. Atau respon sesaat
terhadap suasana yang mengharu biru. Kata yang tak berakar di hati selalu
mengandung virus: berlebihan, basa-basi, tidak realistis, tidak punya daya gugah, atau
punya daya gugah tapi mengandung kebohongan.
Ini dia penyakit penyair yang disebut Qur’an; ”Dan para penyair itu, diikuti orang-orang
pendusta. Tidaklah kamu melihat bagaimana mereka mengembara tanpa arah di setiap
lembah. Dan bahwa mereka mengatakan apa yang tidak mereka kerjakan.” (QS. Al
Syu’ara : 224-226)
Yahimun : mengembara tanpa arah. Itu ungkapan ajaib dan sangat akurat. Lalu
diperkuat dengan pernyataan bahwa mereka mengatakan apa yang tidak mereka
lakukan. Itu membuatnya lebih dalam lagi. Karena akhirnya, ini adalah cerita tentang
watak yang terbelah, antara kata dan laku, tentang kata tanpa makna dan arah, tentang
kata yang hanya sekadar kata.
Penyair dan lembah itu, metafora tentang ketidakjujuran, tentang jiwa yang sakit,
tentang karakter yang lemah. Cinta memang harus berkembang jadi kata. Sebab itu
membuatnya nyata. Dan meyakinkan. Tapi kata itu harus benar-benar merupakan
anak-anak manis yang lahir dari rahim cinta. Hanya itu yang membuatnya kuat dan
berkarakter. Hanya itu yang membuat kata menyatu dengan laku. Serta bebas dari
keterbelahan jiwa. Jika tidak cinta akan terkena virus yang menimpa para penyair.
Seringkali kata-katanya terlalu sederhana. Tapi kadar jiwa dan makna yang
dikandungnya mungkin lebih dahsyat dari puisi-puisi yang pernah memenangkan nobel.
Seperti ketika Rasulullah SAW menyanjung khatidjah : ”Adakah perempuan yang bisa
menggantikan Khadijah?” Ketika akhirnya rasa penasaran mendorong Aisyah
menanyakan itu, Rasulullah menjawab : ”Dia beriman ketika semua orang kafir, dia
mengorbankan harta ketika semua orang menahannya, ia memberiku anak-anak.” Pengakuan jujur yang abadi. Cinta yang terkembang jadi kata tapi tak sempat
disampaikan kepada sang kekasih. Sederhana. Apa adanya. Tapi dalam. Karena
memang lahir dari rahim cinta sejati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar