Senin, 03 Agustus 2009

TRAGEDI CINTA

Ada sisi lain yang menarik dari pengalaman emosional para pahlawan yang
berhubungan dengan perempuan. Kalau kebutuhan psikologis dan bilogis terhadap
perempuan begitu kuat pada para pahlawan, dapatkah kita membayangkan seandainya
mereka tidak mendapatkannya?

Rumah tangga para pahlawan selalu menampilkan, atau bahkan menjelaskan, banyak
sisi dari kepribadian para pahlawan. Dari sanalah mereka memperoleh energi untuk
bekerja dan berkarya. Tapi jika mereka tidak mendapatkan sumber energi itu, maka
kepahlawanan mereka adalah keajaiban di atas keajaiban. Tentulah ada sumber energi
lain yang dapat menutupi kekurangan itu, yang dapat menjelaskan kepahlawanan
mereka.

Ibnu Qoyyim menceritakan kisah Sang Imam, Muhammad bin Daud Al Zhahiri, pendiri
mazhab Zhahiriyah. Beberapa saat menjelang wafatnya, seorang kawan menjenguk
beliau. Tapi justru Sang Imam mencurahkan isi hatinya, kepada sang kawan, tentang
kisah kasihnya yang tak sampai. Ternyata beliau mencintai seorang gadis tetangganya,
tapi entah bagaimana, cinta suci dan luhur itu tak pernah tersambung jadi kenyataan.
Maka curahan hatinya tumpah ruah dalam bait-bait puisi sebelum wafatnya.

Kisah Sayyid Quthub bahkan lebih tragis. Dua kalinya ia jatuh cinta, dua kali ia patah
hati, kata DR. Abdul Fattah Al-Khalidi yang menulis tesis master dan disertasi doktornya
tentang Sayyid Quthub. Gadis pertama berasal dari desanya sendiri, yang kemudian
menikah hanya tiga tahun setelah Sayyid Quthub pergi ke Kairo untuk belajar. Sayyid
menangisi peristiwa itu.

Gadis kedua berasal dari Kairo. Untuk ukuran Mesir, gadis itu tidak termasuk cantik,
kata Sayyid. Tapi ada gelombang yang unik yang menyirat dari sorot matanya, katanya
menjelaskan pesona sang kekasih. Tragedinya justru terjadi pada hari pertunangan.
Sambil menangis gadis itu menceritakan bahwa Sayyid adalah orang kedua yang telah
hadir dalam hatinya. Pengakuan itu meruntuhkan keangkuhan Sayyid; karena ia
memimpikan seorang yang perawan fisiknya, perawan pula hatinya. Gadis itu hanya
perawan pada fisiknya.
Sayyid Quthub tenggelam pada penderitaan yang panjang. Akhirnya ia memutuskan
hubungannya. Tapi itu membuatnya semakin menderita. Ketika ia ingin rujuk, gadis itu
justru menolaknya. Ada banyak puisi yang lahir dari penderitaan itu. Ia bahkan
membukukan romansa itu dalam sebuah roman.

Kebesaran jiwa, yang lahir dari rasionalitas, relaisme dan sangkaan baik kepada Allah,
adalah keajaiban yang menciptakan keajaiban. Ketika kehidupan tidak cukup bermurah
hati mewujudkan mimpi mereka, mereka menambatkan harapan kepada sumber segala
harapan; Allah!

Begitu Sayyid Quthub menyaksikan mimpinya hancur berkeping-keping, sembari
berkata, “Apakah kehidupan memang tidak menyediakan gadis impianku, atau
perkawinan pada dasarnya tidak sesuai dengan kondisiku?” Setelah itu ia berlari meraih
takdirnya; dipenjara 15 tahun, menulis Fi Dzilalil Qur’an, dan mati di tiang gantungan!
Sendiri! Hanya sendiri!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar