Rabu, 09 September 2009

BELAJAR BERSATU



Ketika kekalahan, tragedi, kelaparan, dan pembantaian mendera jasad Islam kita, kita
selalu saja menyoal dua hal: konspirasi Barat dan lemahnya persatuan umat Islam.
Tangan-tangan syetan Yahudi seakan merambah di balik setiap musibah yang menimpa
kita. Dan kita selalu tak sanggup membendung itu, karena persatuan kita lemah.
Mari kita menyoal persatuan, sejenak, dari sisi lain. Ada banyak faktor yang dapat
mempersatukan kita: aqidah, sejarah dan bahasa. Tapi semua faktor tadi tidak berfungsi
efektif menyatukan kita. Sementara itu, ada banyak faktor yang sering mengoyak
persatuan kita. Misalnya, kebodohan, ashabiyah, ambisi, dan konspirasi dari pihak luar.
Mungkin itu yang sering kita dengar setiap kali menyorot masalah persatuan. Tapi di sisi
lain yang sebenarnya mungkin teramat remeh, ingin ditampilkan di sini.
Persatuan ternyata merupakan refleksi dari ’suasana jiwa’. Ia bukan sekedar konsensus
bersama. Ia, sekali lagi, adalah refleksi dari ’suasana jiwa’. Persatuan hanya bisa
tercipta di tengah suasana jiwa tertentu dan tak akan terwujud dalam suasana jiwa yang
lain. Suasana jiwa yang memungkinkan terciptanya persatuan, harus ada pada skala
individu dan jamaah.
Tingkatan ukhuwwah (maratibul ukhuwwah) yang disebut Rasulullah SAW, mulai dari
salamatush shadr hingga itsar, semuanya mengacu pada suasana jiwa. Jiwa yang dapat
bersatu adalah jiwa yang memiliki watak ’permadani’. Ia dapat diduduki oleh yang kecil
dan yang besar, alim dan awam, remaja atau dewasa. Ia adalah jiwa yang besar, yang
dapat ’merangkul’ dan ’menerima’ semua jenis watak manusia. Ia adalah jiwa yang
digejolaki oleh keinginan kuat untuk memberi, memperhatikan, merawat,
mengembangkan, membahagiakan, dan mencintai.
Jiwa seperti itu sepenuhnya terbebas dari mimpi buruk ’kemahahebatan’,
’kamahatahuan’, ’keserbabisaan’. Ia juga terbebas dari ketidakmampuan untuk
menghargai, menilai, dan mengetahui segi-segi positif dari karya dan kepribadian orang
lain.
Jiwa seperti itu sepenuhnya merdeka dari ’narsisme’ individu atau kelompok.
Maksudnya bahwa ia tidak mengukur kebaikan orang lain dari kadar manfaat yang ia
peroleh dari orang itu. Tapi ia lebih melihat manfaat apa yang dapat ia berikan kepada
orang tersebut. Ia juga tidak mengukur kebenaran atau keberhasilan seseorang atau
kelompok berdasarkan apa yang ia ’inginkan’ dari orang atau kelompok tersebut.
Salah satu kehebatan tarbiyah Rasulullah SAW, bahwa beliau berhasil melahirkan dan
mengumpulkan manusia-manusia ’besar’ tanpa satupun di antara mereka yang merasa ’terkalahkan’ oleh yang lain. Setiap mereka tidak berpikir bagaimana menjadi ’lebih
besar’ dari yang lain, lebih dari mereka berpikir bagaimana mengoptimalisasikan seluruh
potensi yang ada pada dirinya dan mengadopsi sebanyak mungkin ’keistimewaan’ yang
ada pada diri orang lain.
Umar bin Khattab, mungkin merupakan contoh dari sahabat Rasulullah SAW yang dapat
memadukan hampir semua prestasi puncak dalam bidang ruhiyah, jihad, qiyadah,
akhlak, dan lainnya. Tapi semua kehebatan itu sama sekali tidak ’menghalangi’ beliau
untuk berambisi menjadi ’sehelai rambut dalam dada Abu Bakar’. Sebuah wujud
keterlepasan penuh dari mimpi buruk ’kemahahebatan’.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar