Senin, 03 Agustus 2009

KEMANJAAN

Jika kita hanya membaca biografi pahlawan, atau mendengar cerita kepahlawanan dari
seseorang yang belum pernah kita lihat, barangkali imajinasi yang tersusun dalam
benak kita tentang pahlawan itu akan berbeda dengan kenyataannya. Itu berlaku untuk
lukisan fisiknya, juga untuk lukisan emosionalnya.
Abu hasan Ali Al-Halani Al-Nadwi, yang tinggal di anak benua India, telah membaca
tulisan-tulisan Sayyid Quthub, yang tinggal di Mesir. Tulisan –tulisannya memuat
gagasan-gagasan yang kuat, solid, atraktif, berani dan terasa sangat keras. Barangkali
bukan merupakan suatu kesalahan apabila dengan tanpa alasan kita membuat korelasi
antara tulisan–tulisan itu dengan postur tubuh Sayyid Quthub. Penulisnya, seperti juga
tulisannya, pastilah seorang laki-laki bertubuh kekar, tinggi dan besar. Itulah kesan yang
terbentuk dalam benak Al Nadwi. Tapi ketika ia berkunjung ke Mesir , ternyata ia
menemukan seorang laki-laki dengan perawakan yang kurus, ceking dan jelas tidak
kekar. Begitu juga dengan potret emosi seorang pahlawan. Kadang–kadang ketegaran
dan keberanian para pahlawan membuat kita berpikir bahwa mereka sama sekali tidak
mempunyai sisi-sisi lain dalam dirinya, yang lebih mirip dengan sisi-sisi kepribadian
orang-orang biasa. Misalnya, kebutuhan akan kemanjaan.
Umar bin khattab mengajar sesuatu yang lain ketika beliau mengatakan : “jadilah
engkau seperti seorang bocah didepan istrimu”. Laki-laki dengan postur tubuh yang
tinggi, besar, putih dan botak itu yang dikenal keras, tegas, berani dan tegar, ternyata
senang bersikap manja didepan istrinya. Mungkin bukan cuma Umar. Sebab Rasulullah
SAW, ternyata juga melakukan hal yang sama. Adalah Khadijah tempat ia kembali saat
kecemasan dan ketakutan melandanya setelah menerima wahyu pertama. Maka
kebesaran jiwa Khadijah yang senantiasa beliau kenang dan yang memberikan tempat
paling istimewa bagi perempuan itu dalam hatinya, bahkan setelah beliau menikahi
seorang Aisyah. Tapi beliau juga sering berbaring dalam pangkuan Aisyah untuk disisiri
rambutnya, bahkan ketika beliau sedang i’tikaf dibulan Ramadhan.
Itu mengajarkan kita sebuah kaidah, bahwa para pahlawan mukmin sejati telah
menggunakan segenap energi jiwanya untuk dapat mengukir legenda
kepahlawanannya. Tapi untuk itu mereka membutuhkan suplai energi kembali. Dan
untuk sebagiannya, itu berasal dari kelembutan dan kebesaran jiwa sang istri. Kemanjaan itu, dengan begitu, barangkali memang merupakan cara para pahlawan
tersebut memenuhi kebutuhan jiwa mereka akan ketegaran, keberanian, ketegasan dan
kerja-kerja emosi lainnya.
Kepahlawanan membutuhkan energi jiwa yang dasyat, maka para pahlwan harus
mengetahui dari mana mereka mendapatkan sumber energi itu. Petuah ini agaknya tidak
pernah salah : “Dibalik setiap laki-laki agung, selalu berdiri wanita agung” dan
mengertilah kita, mengapa sastrawan besar besar Mesir ini, Musthafa Shadiq Al Rafii,
mengatakan “kekuatan seorang wanita sesungguhnya tersimpan dibalik kelemahannya” .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar