Rabu, 09 September 2009

BEBAN AMANAH DAN KESIAPAN AKTIVIS ISLAM



Bismillaahirrohmaanirrohiim, kita patut bergembira bahwa dari ke hari jumlah aktivis-
aktivis Islam saat ini terus bertambah dan itu berarti bahwa distribusi beban dakwah
perlahan-lahan mulai semakin merata. Walaupun begitu, memang masih ditemukan di
sana-sini adanya pemusatan beban karena jumlah beban dengan pemikulnya belum
terlalu seimbang.
Oleh karena itu para aktivis muslim sampai saat ini memang masih memikul beban yang
sangat berat dan juga sangat banyak. Dan itu kadang-kadang melampaui jumlah waktu
yang mereka miliki. Dari situ kemudian muncul berbagai persoalan, di antaranya adalah
soal rasio produktivitas kita dalam bekerja, kemudian masalah efisiensi waktu, tetapi dua
hal ini –rasio produktivitas dan efisiensi waktu- sama-sama terkait dengan kompetensi
individu masing-masing aktivis.
Kalau kita mengatakan rasio produktivitas, yang saya maksud adalah semestinya
seorang aktivis Islam itu rasio produktivitasnya sebagai berikut, yaitu satu unit waktu
sama dengan satu unit amal.
Sekarang, karena jumlah pekerjaan lebih banyak dari waktu yang kita miliki, maka kita
harus memilih bahwa satu unit waktu sama dengan satu unit amal terbaik. Jadi kita
selalu berorientasi kepada afdhalul amal, itulah kaidah yang menggabungkan antara
rasio produktivitas yang tinggi
dengan tingkat efisiensi.
Artinya efisiensi itu adalah fi’li amal pada setiap satu unit waktu. Tapi sekali lagi, itu
kembali kepada kompetensi individu masing-masing. Dan jika bicara tentang
kompetensi individu yang kita maksud adalah apakah individu itu atau aktivis muslim itu sudah merencanakan pengembangan dirinya yang maksimum. Sehingga bakat-bakat
yang terpendam dalam dirinya, semuanya terpakai untuk dakwah. Sebab penelitian
terhadap orang-orang besar yang pernah dilakukan di Amerika –seperti yang dikutip
oleh Syaikh Muhammad Al Ghazali- mengatakan bahwa ternyata orang-orang besar
yang pernah ada dalam sejarah hanya menggunakan 5-10 persen dalam total
potensinya.
Untuk mencapai hal di atas, kita harus selalu berorientasi kepada penyatuan-penyatuan,
pemaduan-pemaduan, pengharmonisan-pengharmonisan, dan mencoba meninggalkan
kecenderungan pemisahan-pemisahan atau dikotomi, karena semua itu adalah
kebajikan. Contoh: menuntut ilmu di kampus itu adalah kebaikan, berdakwah adalah
juga kebaikan. Kita membutuhkan kedua-duanya sekaligus. Kita perlu ilmu supaya kita
berdakwah dengan cara yang benar, dan kita harus berdakwah agar ilmu kita
bermanfaat. Jadi, tidak ada alasan untuk memisah-misahkannya.
Persoalannya adalah persoalan manajemen, bagaimana mengelola waktu yang tersedia
untuk mendapatkan hasil yang terbaik dari semua amal yang ada. Itu saja masalahnya!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar