Kamis, 05 Agustus 2010

Pembelajaran dan Keindahan

Buta huruf. Jelek. Itu gambaran wajah mereka, buruh-buruh kasar yang didatangkan dari Aljazair ke Perancis. Tentu oleh Perancis, tuan besar yang menjajah negri Muslim itu lebih dari seratus tahun.
Bertahun-tahun kemudian wajah-wajah mereka berubah menjadi lebih baik. Lebih indah, tepatnya. Sentuhan peradaban telah meninggalkan goresan keindahannya pada sorot mata dan garis-garis wajah keindahannya pada sorot mata dan garis-garis wajah mereka. Waktu tersenyum wajah mereka tampak lebih renyah, lebih terbuka dan lebih mampu menyatakan isi dalam jiwa mereka.
Sisa-sisa kekasaran gurun pasir memang tidak lenyap semua. Setidaknya pada tulang-tulang pipi mereka yang menampakan kekerasan sekaligus ketidakmengertian. Tapi penampilan mereka kini jauh lebih bagus. Malik bin Nabi bertutur: “Setiap kali pengetahuan dan kemampuan membaca mereka berubah menjadi lebih indah dari waktu ke waktu. Pengetahuan membuat mereka tampak lebih indah”.
Itu merupakan hasil dari sebuah riset kecil Perancis. Malik bin Nabi, pemikir Muslim terkenal asal Aljazair, mengarah buruh-buruh kasar dan buta huruf itu membaca. Dari situ ia menemukan bagaimana pengetahuan dan keindahan memiliki korelasi yang positif. Menjadi indah adalah efek pengetahuan. Pengetahuan membuka ruang kemungkinan lebih luas dan menambah kemahiran. Itu membuat manusia merasa lebih berdaya. Keberdayaan meningkatkan harapan dan kepercayan diri. Dan itu yang mewariskan kegembiraan jiwa. Yang terakhir inilah yang membuat senyum mereka lebih renyah. Karena harapan mereka permanen. Karena kepercayaan diri mereka beralasan.
Ini salah satu penjelasan mengapa orang-orang yang berasal dari peradaban maju secara umum lebih menarik ketimbang mereka yang berasal dari peradaban yang tidak maju. Ada fenomena lagi. Misalnya, perempuan atau lelaki kota berpendidikan secara umum jauh lebih menarik darp pada perempuan atau laki-laki desa yang mungkin secara alami berparas lebih tampan atau cantik tapi tidak berpendidikan. Kota punya sentuhan sendiri. Pendidikan punya sentuhan sendiri.
Jika pengaruh gelombang magnetik keindahan fisik berkurang bersama waktu, maka pesona pengetahuan justru tumbuh berkembang dalam rentang waktu yang lama. Jika sepasang pecinta hidup selama 40 tahun perkawinan, bisakah anda membayangkan bagaimana mereka merawat kebersamaan yang sepanjang itu? Sebagian besar waktu mereka akan habis dalam obrolan. Khususnya setelah mereka berusia 50 tahun. Itu yang dimaksud pangeran Charles. Dia butuh seseorang untuk diajak bicara. Bukan seseorang untuk sekedar dipajang ke pesta. Pesta mungkin selalu ada. Tapi tak pernah lama. Begitu acara selesai, kita kembali pada kehidupan sehari-hari yang natural dimana kita hanya bicara dan bicara lagi.
Dalam sebuah hubungan jangka panjang kita tidak membutuhkan sebuah boneka cantik yang gagu. Kita memerlukan seseorang yang bisa mengerti dan mudah dimengerti, seseorang yang bisa memahami riak dan gelombang peraaan kita dan mampu menyatakan isi hatinya secara jelas dan sempurna, seseorang yang mampu memetakan pikiran-pikiran kita dan juga punya pikiran yang terus berkembang dan bisa dipetakan. Hidup menjadi “bernas” ketika ia tampak seperti lautan teduh yang menyembunyikan gelombangnya yang dasyat dan tamannya yang indah. Tapi jika ingin menyelami dan menyaksikannya, kita perlu kaca mata renang atau selam. Kita juga butuh alat bantu pernafasan. Pengetahuanlah itu yang memberi makna pada cnta ketika ia hendak menembus ruang dan waktu. Pengetahuanlah itu yang memberi umur lebih panjang pada cinta yang hendak bertahta di singgasana keabadian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar