Selasa, 03 Februari 2009

Semangat Penanggungan

Oleh Anis Matta

Cinta tidak akan pernah berkembang menjadi rencana aksi kecuali ketika ia lahir dari semangat pertanggungjawaban. Cinta yang kuat adalah manifestasi dan sense of responsibility yang terus menerus bergelora dalam jiwa sang pencinta. Sebab cinta adalah tindakan. Bukan sekadar kata-kata. Atau janji-janji.

Sebagian dari tindakan cinta itu adalah mengambil-alih masalah yang tidak dapat diselesaikan oleh orang yang kita cintai. Sebagiannya lagi adalah mengembangkan diri orang yang kita cintai secara terus-menerus. Tindakan cinta adalah keterlibatan terus-menerus pada masalah dan penumbuhan orang-orang yang kita cintai.

Tantangan beratnya adalah bahwa orang-orang yang kita cintai terlalu sering tidak menyadari kebajikan yang kita suplai secara berkesinambungan kepada mereka. Bahkan sering tanpa sadar menjadi tergantung kepada kebajikan itu. Tapi seperti kepada matahari, udara dan air, sikap kita juga begitu: kita menjadi terlalu terbiasa dengan kebajikan Ilahiyah itu dan karenanya lupa untuk bersyukur dan menyatakan terima kasih yang tulus.

Jadi mencintai adalah sebuah keputusan besar yang kita buat dalam hidup kita. Dan seperti semua keputusan lainnya, keputusan untuk mencintai juga mengandung beban dan resiko. Maka semua pekerjaan yang harus dilakukan atas nama cinta selalu mengandung makna sebuah amanat, sebuah tugas, sebuah janji.

Misalnya menjadi pemimpin rakyat. Itu pekerjaan yang harus dilakukan atas nama cinta. Dan karenanya merupakan sebuah amanat, sebuah tugas, sebuah janji. Cinta dari semangat penanggungan itulah yang mengganggu tidur mereka senantiasa.

Lihatlah Umar bin Khattab yang tidak bisa tidur siang dan malam. “Bagaimana mungkin aku bisa tidur? Kalau aku tidur di siang hari lantas siapa yang mengurus rakyatku? Kalau aku tidur di ma]am hari lantas kapan aku bisa memenuhi hak diriku untuk bermunajat dengan Allah?”

Begitu juga perkawinan. Akad nikah adalah sebuah perjanjian yang keras. Seorang laki-laki yang mengambil-alih hak perwalian dari ayah perempuan yang menjadi istrinya harus menandatangani sebuah ‘aqad, sebuah kontrak, sebuah janji.

Laki-laki itu mengambil perempuannya dari perlidungan sang ayah dengan amanat Allah. Dalam kontrak itu ada sebuah komitmen sekaligus daftar kewajiban yang harus ditunaikan. Amanat itu yang selalu memastikan bahwa seorang suami yang bertanggung jawab “akan menghormati istrinya kalau ia mencintainya, tapi tidak akan pernah menzaliminya kalau kemudian ia tidak lagi mencintainya”.

Entah karena merasa sudah tua atau alasan lain suatu saat Saudah menawarkan kepada Rasulullah saw untuk memberikan giliran harinya kepada Aisyah yang lebih muda dan lebih dicintai Rasulullah saw. Tapi Rasulullah saw mengatakan, “Tidak! Kamu harus mendapatkan apa yang menjadi hakmu.”

Semangat pertanggungjawaban selalu begitu: melahirkan cinta yang tulus dan agung, karena ia membuat pandangan mata hatimu mampu menembus batas kebenaran yang tampak sekilas kepada hakikat abadi yang ada di sana: di haribaan Allah di hari keabadian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar